Jakarta, redaksisatu.id – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) kembali menjadi sorotan publik, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan para tersangka.
Disinyalir jajaran di tubuh Kemenaker tindakan tak terpuji setelah, KPK resmi menetapkan delapan orang sebagai tersangka.
Penetapan KPK tersebut berawal dalam kasus dugaan pemerasan, terhadap agen penyalur calon tenaga kerja asing (TKA).
Praktik kotor ini disebut telah berlangsung cukup lama, dan meraup keuntungan pribadi kisaran puluhan miliar rupiah.
Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (5/6), Pelaksana Harian Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo.
Ia mengungkap bahwa para tersangka berasal dari jajaran, Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta) di lingkungan Kemenaker.
“KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka terkait dugaan pemerasan dalam proses pengurusan dokumen RPTKA untuk para calon tenaga kerja asing,” ujar Budi tegas.
Deretan Tersangka: Dari Mantan Dirjen hingga Staf Rendahan
Kedelapan tersangka tersebut berasal dari, berbagai tingkatan jabatan, menandakan bahwa praktik ini tidak hanya dilakukan secara individu, melainkan diduga sistemik dan terstruktur. Berikut identitas mereka:
- Suhartono, Dirjen Binapenta periode 2020–2023
- Haryanto, Dirjen Binapenta periode 2024–2025
- Wisnu Pramono, Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) 2017–2019
- Devi Angraeni, Direktur PPTKA 2024–2025
- Gatot Widiartono, Kasubdit Maritim
- Putri Citra Wahyoe, staf pada Direktorat PPTKA
- Jamal Shodiqin, staf pada Direktorat PPTKA
- Alfa Eshad, staf pada Direktorat PPTKA
Modus Operandi: “Uang Pelicin” untuk RPTKA
Skema pemerasan yang mereka jalankan berkaitan langsung dengan proses penerbitan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
Sebuah dokumen wajib bagi perusahaan yang hendak mempekerjakan TKA di Indonesia. Kewenangan menerbitkan dokumen ini berada di bawah Ditjen Binapenta.
Seharusnya menjadi garda terdepan, dalam memastikan proses legalitas berjalan sesuai aturan.
Namun dalam praktiknya, para tersangka justru memanfaatkan kewenangan tersebut untuk menekan para agen penyalur calon TKA.
Permintaan uang disampaikan secara terselubung, seolah sebagai “prosedur tidak tertulis” yang harus dipenuhi agar dokumen RPTKA segera diproses dan disetujui.
“Para tersangka diduga aktif meminta sejumlah uang sebagai syarat kelancaran pengurusan RPTKA,” tambah Budi.
Rp 53 Miliar Dana Ilegal Mengalir Sejak 2019
Dari hasil penyelidikan sementara, KPK menduga praktik pemerasan ini telah berlangsung sejak tahun 2019 dan menghasilkan uang haram setidaknya Rp 53 miliar.
Uang tersebut kemudian diduga dialirkan ke berbagai pihak, baik di internal kementerian maupun pihak eksternal yang masih diselidiki lebih lanjut.
KPK juga tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain. Proses pendalaman dan penelusuran aliran dana tengah dilakukan untuk membuka potensi tersangka baru dalam kasus ini.
Jerat Hukum: Menanti untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, delapan tersangka dijerat dengan:
- Pasal 12 e dan/atau
- Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan dan penerimaan gratifikasi yang dianggap sebagai suap.
Menanti Pembenahan di Kemenaker
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi Kementerian Ketenagakerjaan, yang selama ini diharapkan menjadi pelindung bagi tenaga kerja baik lokal maupun asing.
Alih-alih menjaga marwah institusi, sejumlah oknumnya justru memperdagangkan kewenangan demi keuntungan pribadi.
KPK pun menegaskan akan terus menggali lebih dalam dan tidak segan menindak siapapun yang terbukti terlibat, tak peduli jabatan atau pengaruhnya.
“Kami ingin menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak akan berhenti di satu titik. KPK akan terus menelusuri siapa saja yang terlibat,” tutup Budi. (MOND).