spot_img

Unjuk Rasa di Kantor Gubernur Kalbar, SEPARKA Sampaikan 21 Pernyataan Sikap

REDAKSI SATU – Puluhan orang massa dari perwakilan berbagai elemen masyarakat dan organisasi kepemudaan menggelar Aksi Unjuk Rasa di Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Pontianak pada Rabu 24 September 2025.

Terpantau puluhan massa Aksi Unjuk Rasa yang dikoordinatori oleh Raden Deden Sadarjuwo tersebut diantaranya perwakilan dari LBH, PMKRI, UPB, LEMBAH Bengkayang, AGRA, AMAN, GSBI Bengkayang, KASBI Kalbar, Fron Mahasiswa Nasional, dan beberapa perwakilan dari Ketapang, dan Sambas.

Dalam Press Release, Korlap Aksi Unjuk Rasa Raden Deden Sadarjuwo menerangkan bahwa 65 tahun, setelah diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria- UUPA No 5 tahun 1960 menjadi semangat baru bagi rakyat Indonesia untuk menerapkan secara mandiri aturan agraria nasional pertama dan kemudian telah dijadikan sebagai dasar penentuan Hari Tani Nasional.

BACA JUGA  Teken MoU, Mendagri Tegaskan Dukungannya terhadap Pendidikan Pesantren
Unjuk Rasa
Korlap Aksi Unjuk Rasa Raden Deden Sadarjuwo (Kiri), Yetno, dan salah satu Tokoh Masyarakat Kalbar dari Ketangkap (kanan). (Foto: Redaksi Satu).

Harapan berkobar seiringan dengan diterbitkannya UUPA, tetapi pada perkembangannya mendapatkan jalan buntu dan menciptakan ketidakpastian hak agraria yang sepenuhnya untuk kepentingan rakyat sesuai amanat pancasila dan UUD 1945.

“Monopoli dan perampasan tanah masih menjadi momok yang menakutkan bagi kelangsungan hidup rakyat,” kata Raden.

Menurut Korlap Aksi Unjuk Rasa, Hari Tani Nasional pada tahun ini, bertepatan dengan kondisi dunia yang masih tidak ada kepastian. Perang terus berkecamuk dalam wujud pertarungan dagang dan pertarungan dominasi negeri-negeri Imperialis terhadap negara di seluruh dunia. Penyebab dari kesemuanya adalah mendalamnya krisis yang berkepanjangan hingga tahap tertingginya dari sistem ekonomi usang yang dijalankan. Negeri-negeri imperialis, terus berusaha menyelamatkan diri, dengan usaha memindahkan beban krisis kepada negara-negara bergantung seperti Indonesia. Hal ini tentunya secara langsung menambah beban dipundak rakyat seluruh dunia.

BACA JUGA  Penyelundupan Ribuan Kosmetik Ilegal asal Filipina Berhasil Digagalkan Polisi
Unjuk Rasa
Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan saat mendengar langsung berbagai persoalan yang disampaikan langsung dari massa Aksi Unjuk Rasa di Kantor Gubernur, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Pontianak, pada Rabu 24 September 2025. (Foto: Redaksi Satu).

Di Indonesia, di bawah Rezim Baru Prabowo-Gibran, tidaklah menjadi pembeda dari rezim-rezim sebelumnya. Kebijakan yang dijalankan tetaplah perlindungan terhadap dominasi Imperialis, bahkan dijamin lebih dalam dan strategis tentang peran militer dan kepolisian di jabatan-jabatan penting negara. Terbaru, kedudukannya dipertegas dengan revisi UU TNI Nomor 34 tahun 2004 pada 20 Maret 2025 lalu. Kebijakan ini memberikan jalan lapang kepada perluasan peranan militer dalam tugas-tugas “Operasi Militer Selain Perang”, merangsek dan menekan ruang dan kebebasan sipil, menguasai badan-badan kekuasaan negara, badan usaha milik negara hingga pelaksana program-program prioritas pemerintah seperti pembukaan lahan skala luas Food Estate, cadangan logistik nasional hingga Makan Bergizi Gratis (MBG).

Korlap Aksi Unjuk Rasa juga menyebut, Perampasan lahan terjadi dengan berbagai skema, terbaru melalui PERPRES No.5 tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan. Di kawasan hutan tersebut, nyatanya telah hidup jutaan rakyat dari kalangan kaum tani, suku bangsa minoritas atau masyarakat adat dan semua lapisan rakyat paling miskin di pedesaan. Hingga saat ini, jumlah desa yang berada di kawasan hutan dan berada di tepi hutan mencapai 25.863 desa atau hampir sepertiga dari total keseluruhan desa di Indonesia.

“Di Kalimantan Barat, Persoalan rakyat tidak berbeda jauh dari berbagai persoalan di daerah lain di Indonesia, sebagai provinsi terluas kedua di Indonesia, luasan provinsi Kalimantan Barat mencapai 147,037.04 km² atau 14.703.704 Ha, sedangkan luas hutan dan perairannya seluas 8.093.170,84 Ha, jadi tidak mengherankan jikalau penguasaan lahan kaum tani dan suku bangsa minoritas atau masyarakat adat berada dalam wilayah yang kemudian diklaim sebagai wilayah hutan maupun areal konservasi,” sindir massa Aksi Unjuk Rasa.

BACA JUGA  Kapolri Kerahkan 144.392 Personel, Pengamanan Mudik dan Idul Fitri 2022

Selain itu, pemberian izin atau konsesi kepada perusahaan besar di sektor kehutanan seperti HTI, HTE, dan juga pengelolaan hutan alam, sedangkan di sektor perkebunan, monopoli tanah untuk perkebunan skala besar seperti sawit, karet dan berbagai jenis tanaman lainnya. Izin atau konsesi yang diberikan hampir seluruhnya bersumber dari perampasan lahan yang dikuasai oleh kaum tani, suku bangsa minoritas atau masyarakat adat secara turun temurun.

“Suku Bangsa Minoritas atau masyarakat adat, selain dirampas hak ulayatnya, mereka juga dilarang beraktivitas untuk mengelola hasil alam dan sumber daya alam, serta dijauhkan dari perkembangan teknologi dan kemajuan. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan tidak ada jaminan dari pemerintah,” tandas massa Unjuk Rasa saat menggelar Aksi di Kantor Gubernur Kalimantan Barat.

Nelayan menggantungkan diri sepenuhnya dari hasil tangkap. Mereka dihadapkan dengan perampasan ruang tangkap melalui zonasi dan peraturan tentang hasil tangkap. Sarana-sarana kerja diperlukan untuk keselamatan dan hasil yang baik.

Sedangkan, perempuan Indonesia dihadapkan berlipat ganda persoalan, domestikasi membuat perempuan menjadi tidak dapat memenuhi hak-hak demokratisnya, membuat mereka terbelenggu dalam penindasan dan penghisapan yang berkepanjangan.

Kelas buruh Indonesia, tidak memiliki harapan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi, pemangkasan upah dan flexibility tenaga kerja membuat ketiadaan kepastian kerja dan terus ditekan dengan politik upah murah. Terparah, kondisi buruh di perkebunan sawit yang membuat mereka hampir tidak memiliki kepastian kerja. Hal yang mencolok adalah upah yang berbanding terbalik dari tenaga yang dikeluarkan. Juga hak-hak dasar dan normatif buruh kebun sawit yang tidak memiliki kepastian.

Menurut massa Aksi Unjuk Rasa, dampak lain dari persoalan perampasan lahan dan monopoli lahan skala luas menciptakan tenaga-tenaga produktif di pedesaan meninggalkan desa dan mencari pekerjaan di perkotaan.

“Berdasarkan data BPS yang dirilis terakhir, bahwa Indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Kalbar di tahun 2024 masih rendah di angka 70,13, masuk 8 Provinsi terbawah nasional di peringkat 31, sedangkan rata-rata nasional 74,20, haruslah meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan dan standar hidup masyarakat,” ujar Massa Aksi Unjuk Rasa depan Gubernur Kalimantan Barat.

Di sektor pendidikan, massa Aksi Unjuk Rasa mengatakan bahwa pelajar dan mahasiswa mendapatkan penindasan bersumber dari pemenuhan tenaga-tenaga terlatih yang siap dipakai di pasar kerja, penyusunan berbagai kebijakan di dunia pendidikan semuanya berorientasi pada kebutuhan pasar terutama bagi kepentingan industri besar, sayangnya tidak ada ruang untuk mendapatkan kepastian.

Lanjut Korlap Aksi Unjuk Rasa menyampaikan, bahwa dari uraian yang telah disampaikan, melalui momentum Hari Tani Nasional ke 65 tahun, kami dari Sentral Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat menyatakan sikap tegas :

1. Hentikan perampasan tanah kaum tani, masyarakat adat, komunitas lokal, dan pengelola lahan di kawasan hutan, serta hentikan kebijakan Reforma Agraria Palsu, yaitu RA-PS, Ketahanan Pangan dan Ketahanan Energi, Dagang dan Pasar Karbon, Penertiban Kawasan Hutan (PKH), Proyek Strategis Nasional (PSN).

2. Memberikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan kepada masyarakat adan dan komunitas lokal dengan seluruh hak ulayatnya dengan memastikan disahkannya Undang – Undang Masyarakat Adat.

3. Menjamin terwujudnya kedaulatan kaum tani, masyarakat adat dan komunitas lokal dalam menentukan serta menjalankan nilai, kearifan, pilihan politik, ekonomi, adat, sosial dan budaya.

4. Berikan jaminan perlindungan produksi pertanian petani miskin melalui penetapan harga dasar yang adil atas komoditi pertanian para petani perseorangan skala kecil, seperti kelapa sawit, karet, singkong, padi, kelapa dalam, lada, dan pinang.

5. Berikan jaminan ketersedian semua jenis benih, pupuk, obat-obatan pertanian serta alat-alat pertanian dengan harga murah dan terjangkau bagi kaum tani.

6. Hapuskan semua bentuk “peribaan” yang memberatkan dalam produksi

7. Bebaskan kaum tani dari semua jenis pajak yang dibebankan dan memberatkan produksi pertanian maupun hidup kaum tani dan keluarganya

8. Terbitkan pemerintah daerah untuk segera menerbitkan ‘Peraturan daerah tentang perlindungan Buruh’ yang tidak hanya terbatas pada buruh sawit, tetapi juga mencakup seluruh sektor perkebunan, pertanian, perikanan dan industri. Peraturan harus memastikan kebebasan berserikat, Jaminan Sosial Semesta dan Sepanjang Hayat (JS3H), memberikan jaminan menyeluruh kepada buruh perempuan dalam kaitannya hak dan kebutuhan secara biologis, serta ruang aman.

9. Cabut UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja (Omni Bus law) dan semua peraturan pelaksanaannya

10. Hentikan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, hentikan penerapan sistem Perjanjian Waktu Kerja tertentu (PKWT) atau sistem kerja kontrak, outsourcing dan sistem kerja borongan yang merugikan buruh dan pekerja

11. Naikan upah buruh kebun/buruh tani berdasarkan waktu kerja (upah satu hari kerja) dan penghapusan diskriminasi kerja dan upah berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Naikan berbagai jenis premi, dan bonus target kerja, penghapusan target kerja atau penurunan target kerja (produksi), dan penghapusan berbagai bentuk potongan-potongan, sanksi yang memberatkan, penghapusan sistem fleksibilitas perburuhan (outsourcing dan kontrak) yang menimbulkan ketidakpastian kerja dan hilangnya upah yang seharusnya diterima, seperti uang pesangon, tunjangan pensiun dan hari tua.

12. Pemerintah harus memastikan perusahaan perkebunan sawit untuk meningkatkan/mengubah status Buruh Harian Lepas/Borongan (KHL) menjadi Buruh Harian Tetap (KHT),

13. Berikan perlindungan dan penuhi hak dasar nelayan miskin melalui berbagai bentuk subsidi kebutuhan sarana prasarana nelayan, seperti pengadaan sampan (perahu) dan mesin, alat tangkap ikan, bahan bakar minyak (BBM) dan logistik kerja dengan harga murah dan terjangkau, perbaikan harga ikan hasil tangkapan hingga mencapai tingkat harga yang layak

14. Cabut semua kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang membatasi kerja nelayan skala kecil, dan pembatasan dan atau larangan beroperasinya kapal penangkapan ikan dengan mesin dan alat tangkap skala besar yang tidak saja merugikan nelayan skala kecil, akan tetapi juga menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan habitatnya.

15. Hentikan operasi, razia dan kriminalisasi kepada para penambang rakyat skala kecil, tidak terkecuali operasi Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) jika pemerintah tidak mampu memberikan solusi. Berikan solusi dan hak penuh kepada rakyat untuk menggarap tanah, hutan dan sungai secara sehat, adil dan lestari untuk keberlangsungan hidup keluarganya.

16. Berikan jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi rakyat, pendidikan yang berkualitas dan gratis bagi rakyat dari tingkat pra-pendidikan dasar hingga menengah, pemenuhan akses bagi rakyat pada tingkat pendidikan tinggi/perguruan tinggi yang berkualitas dengan biaya murah sera hentikan sistem pendidikan dan pengajaran yang meningkatkan beban biaya pendidikan, seperti UKT-BKT.

17. Batalkan kenaikan semua jenis pajak yang membebani rakyat, hapuskan dan turunkan tarif maupun semua bentuk pajak yang membebani rakyat, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor, serta turunkan tarif dasar listrik serta air bersih/minum di bawah pengelolaan PDAM

18. Berikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yaitu pangan, perumahan dan kesehatan yang berkualitas dengan biaya murah dan terjangkau.

19. Hentikan semua bentuk tindak kekerasan bersenjata, intimidasi dan teror, serta penangkapan, penahanan dan pemenjaraan sewenang-wenang terhadap rakyat yang berjuang mempertahankan tanah dan wilayah demi kelangsungan hidupnya. Seluruh kaum tani, rakyat dan orang-orang yang telah ditangkap, ditahan dan dipenjarakan harus dibebaskan tanpa syarat.

20. Reformasi Data dan Kebijakan untuk Petani Perempuan: Mendesak pemerintah untuk mengakui status perempuan petani sebagai ‘petani’ dalam dokumen administrasi (status kependudukan) serta jaminan akses yang adil dalam subsidi, bantuan pemerintah, peningkatan kapasitas, dan memperkuat hak pengelolaan tanah bagi perempuan petani. Pemerintah harus melakukan pendataan ulang secara ‘inklusif’ agar petani perempuan tercatat sebagai subjek utama dalam pertanian, sehingga kebijakan dan alokasi anggaran menjadi lebih adil.

21. Hentikan praktik militerisme: tarik mundur seluruh TNI dari wilayah konflik agraria, baik di perkebunan sawit maupun sektor lainnya, karena keberadaan mereka hanya melanggengkan kekerasan dan kepentingan korporasi; negara wajib menyelesaikan konflik agraria secara adil dan berpihak pada masyarakat.

BACA JUGA  NCW Minta Gubernur Ria Norsan Segera Mengundurkan Diri
BACA JUGA  Polresta Pontianak Ungkap Pelaku TPPO Modus Perkawinan di RRC dengan Imbalan Puluhan Juta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

spot_img