Prinsip dasar dari negara hukum demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat dalam mengekspresikan kedaulatannya.
Pemilihan Umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang prinsipil, dan negara wajib untuk melaksanakan pemilu dalam siklus 5 (lima) tahunan yang sudah ditentukan oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Salah satu aspek penentu demokratis atau tidaknya suatu Pemilu adalah adanya kepastian hukum dan penegakan hukum Pemilu.
Ida Budhiati menyatakan bahwa pemilu yang demokratis pelaksanaannya harus memenuhi standar internasional yaitu semua kegiatan Pemilu harus dilakukan secara independen, transparan, dan tidak berpihak.
Untuk itu setidaknya ada 4 (empat) syarat yang hasus dipenuhi agar pelaksanaan Pemilu dikatakan demokratis, yaitu (1) kepastian hukum Pemilu, (2) penyelenggara Pemilu harus independen dan imparsial, (3) partisipasi masyarakat yang inklusif, dan (4) penegakan hukum Pemilu’’
Pemilu sebagai gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintah demokrasi di zaman modern.
Pemilu menjadi parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini mengandung prinsip-prinsip pokok yang diadopsikan dan diperkuat dalam rumusan UUD 1945.
Yaitu prinsip demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy), dan prinsip negara hukum yang demokratis atau “deomcratiche rechtsstaat” atau “democratic rule of law”.
Penegakan tindak pidana Pemilu adalah wujud menjaga marwah dan martabat esensi pemilu sebagai distribusi kekuasaan dalam negara demokrasi.
Berbagai permasalahan yang kerap muncul dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia menghambat terwujudnya pemilu yang demokratis.
Beberapa permasalahan tersebut adalah lemahnya proses penegakan hukum atas kejahatan maupun pelanggaran Pemilu, baik yang dilakukan penyelenggara, peserta, maupun masyarakat.
Dalam upaya penegakan hukum pidana Pemilu, maka dibentuklah suatu sistem hukum yang bernama Sentra Penegakan Hukum Terpadu atau disingkat Gakkumdu.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat 38 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa penegakan hukum tindak pidana pemilu yang terdiri dari unsur Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu Kota/Kabupaten, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Daerah, dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan/atau Kejaksaan Negeri.
Penyelesaian sengketa pemilu sebagai sengketa politik dapat dilakukan melalui peradilan judisialisasi politik (judicialization of politics) atau juridification of politics.
Dalam judisialisasi politik menundukkan penyelesaian sengketa politik melalui proses peradilan.
Pada konteks ini sengketa politik adalah sengketa antar pranata politik dan sengketa hasil proses politik.
Untuk itu beberapa konsep dasar judicialization of politics, yaitu:
(1) rule of law, semua termasuk negara, pemerintah ada di bawah dan tunduk pada hukum atau disebut under and subject to the law,
(2) constitutionalism, sistem kekuasaan yang terbatas atau dibatasi limited government;
(3) checks and balances, berkaitan erat dengan konsep atau ajaran pemisahan kekuasaan separation of powers, dan
(4) ajaran hak asasi manusia, untuk menghentikan tindakan onrechtmatigoverheidsdaad penguasa yang melanggar hak-hak warga negara.
Sebelum lebih jauh mengulas arti penting pengaturan tindak pidana pemilu, terlebih dahulu perlu disinggung perihal istilah dan definisi tindak pidana pemilu.
Secara umum, ‘istilah tindak pidana pemilu merupakan terminologis yang sama atau menjadi bagian dari tindak pidana dalam rezim hukum pidana.
Istilah lain untuk “tindak pidana” adalah “perbuatan pidana” atau “delik” yang dalam bahasa Belanda disebut dengan strafbaar feit Jika dikaitkan dengan pemilu, maka dapat diistilahkan dengan delik pemilu atau tindak pidana pemilu.
Istilah delik atau tindak pidana pemilu, ia akan menjadi lebih spesifik, yaitu hanya terkait perbuatan pidana yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Dalam arti, istilah tindak pidana pemilu diperuntukkan bagi tindak pidana yang terjadi dalam atau berhubungan dengan pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu.
Tindak Pidana Pemilu diatur mulai dari Pasal 488 sampai Pasal 554 Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Secara rinci bentuk perbuatan yang masuk delik pidana Pemilu adalah sebagai beirkut:
(1) dilarang memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih, sebagaimana diatur dalam Pasal 488 UU Pemilu.
(2) kepala desa dilarang yang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan perserta pemilu, diatur dakam Pasal 490 UU Pemilu.
(3) setiap orang dilarang mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya kampanye pemilu, diatur dalam Pasal 491 UU Pemilu.
(4) setiap orang dilarang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU; diatrur dalam Pasal 492 UU Pemilu.
(5) pelaksana kampanye pemilu dilarang melakukan pelanggaran larangan kampanye, diatur dalam Pasal 493 UU Pemilu.
(6) dilarang memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu, diatur dalam Pasal 496 dan Pasal 497 UU Pemilu.
(7) majikan yang tidak membolehkan pekerjanya untuk memilih, diatur dalam Pasal 498 UU Pemilu.
(8) dilarang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, diatur dalam Pasal 510 UU Pemilu.
(9) orang yang baik ancaman, baik kekerasan atau kekuasaan yang ada padanya menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu,diatur dalam Pasal 511 UU Pemilu.
(10) dilarang menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan, diatur dalam Pasal 514.
(11) dilarang menjanjikan atau memberikan uang kepada Pemilih, diatur dalam Pasal 515 UU Pemilu, dan.
(12) dilarang memberikan suaranya lebih dari satu kali, diatur dalam Pasal 516 UU Pemilu.
Arti penting pengaturan tindak pidana pemilu dapat diturun menjadi dua hal.
Pertama, norma tindak pidana pemilu ditujukan untuk melindungi peserta pemilu, lembaga penyelenggara dan pemilih dari berbagai tindakan pelanggaran dan kejahatan pemilu yang merugikan.
Kedua, norma tindak pidana pemilu ditujukan untuk menegakkan tertib hukum dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu.
Sehubungan dengan dua tujuan/arti penting pengaturan tindak pidana pemilu tersebut, tentu sangat disadari bahwa pemilu adalah sebuah kontestasi.
Di mana, semua pihak tentu akan melakukan langkah apa saja agar dapat memenangkan pemilu, termasuk melakukan pelanggaran.
Pelanggaran tersebut dapat saja merugikan peserta pemilu lainnya, merugikan penyelenggara dan kualitas pemilu itu sendiri.
Penegakan hukum pidana pemilu melibatkan selain dari Badan Pengawas Pemilihan Umum namun juga ada unsur dari kepolisian dan kejaksaan,
Di mana nantinya dalam memproses tindak pidana pemilu ini akan di lakukan beberapa kali pembahasan yang terdiri dari 3 (tiga) unsur tersebut untuk memutuskan bahwa laporan atau temuan yang muncul selama proses tahapan pemilihan umum ini termasuk tindak pidana atau tidak.
Seperti pada Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 2018 pasal 20 sampai 32 menjelaskan bentuk tahapan dalam melakukan penanganan pelanggaran melalui pembahasan pertama hingga pembahasan keempat.
Kenyataannya, proses penegakan hukum pidana pemilu ini masih jauh harapan publik. Terbukti, berbagai bentuk pidana Pemilu tidak mampu diselesaikan dengan baik oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Sehingga upaya mewujudkan keadilan dan kepastian hukum Pemilu tidak tercapai dengan baik. Kondisi ini jelas akan mempengaruhi kualitas demokrasi.
Tindak Pidana Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Defenisi yang sama juga dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Menurut dari definisi yang tertera di atas bahwa perbuatan atau tindakan yang di nilai sebagai tindak pidana pemilu itu adalah perilaku atau perbuatan yang berdasarkan undang undang pemilihan umum itu adalah kriminalisasi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pelanggaran tersebut yang berhubungan dengan kewajiban dimana akan diancam sesuai sanksi yang berlaku pada sanksi pidana dalam undang-undang pemilu.
Delik pemilu itu sendiri dalam regulasi dibagi menjadi dua yaitu: pelanggaran dan kejahatan.
Namun regulasi kurang mendefinisikan secara detil dan spesifik, yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu dalam pelanggaran, dan bentuk cakupan tindak kejahatannya pada undang-undang yang mengatur bentuk perbuatan, sebagai pelanggaran dan bentuk kejahatannya yang satu sama lain membuat sulit untuk dibedakan secara pasti.
Hal ini menuntut penyelenggara dalam prosesnya harus diwadahi dengan instrumen hukum pidana pemilu.
Terkait dengan hal pentingnya dari tindak pidana pemilu ini membuat kita menyadari bahwa pemilu itu sama dengan kontestasi.
Artinya untuk bisa memenangkan pemilu ini banyak pihak bahkan semua pihak akan melakukan berbagai hal atau segala cara untuk dapat menang.
Yang artinya bisa membuat mereka melakukan pelanggaran pemilu tersebut yang akhirnya membuat ada pihak pihak yang akan dirugikan.
Bentuk bentuk kerugian yang dapatkan bisa seperti gagalnya mendapatkan kursi, karena dicurangi oleh peserta lainnya,.
Atau ada upaya tidak adil melalui kolusi dengan para penyelenggara, dari pihak penyelenggara pun bisa mengalami kerugian dengan terganggunya proses penyelenggaraannya,.
Merusak integritas penyelenggara karena hal tersebut menjadi tanggung jawab para penyelenggara untuk memastikan kegiatan berjalan dengan lancar.
Maka dari itu untuk bisa melindungi hal hal itu perlu ada instrumen hukum pidana untuk melihat agar tidak terjadi kerugian kerugian tersebut, sehingga hukum pidana wajib ditegakkan untuk menjaga ketertiban penyelenggaraan.
Seperti yang dikemukakan Jank Remmelink, untuk menunjukkan ketentuan pidana pemilu itu dalam rangka menegakkan ketertiban hukum dan masyarakat itu, dengan hukum pidana bukan untuk diri sendiri.
Tapi untuk menegakkan tertib hukum dalam melindungi masyarakat yang dalam hal ini hukum pidana pemilu.
Dalam mekanismenya peradilan pidana pemilu juga mengikuti pidana umum karena termasuk bagian dari rezim hukum pidana.
Di mana dapat mengikuti sistem peradilan pidana secara umum sehingga terjalin kerangka sistem peradilan yang memfungsikan dan menggunakan hukum pidana dengan baik, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Dengan demikian kerangkanya tiap unsur sistem penegakkan yang terdiri dari kepolisian, jaksaan, pengadilan dan lembaga kemasyarakatan yang terlibat dalam jaringan tertentu saling berkaitan satu sama lainnya.
Di dalam hukum pidana pemilu, sistem kerja tersebut juga berlaku. Namun, ada hal-hal khusus yaitu pertama, hukum materilnya dalam penggunaan diatur secara khusus dalam undang-undang khusus pemilu dan UU Pilkada.
Ada pula peraturan hukum pidana pemilu yang bukan termasuk hukum pidana umum, contohnya melakukan kekerasan atau ancaman, yang terdapat pada pasal 293 undang undang pemilu, terkait dengan dokumen yang dipalsukan pada undang undang pemilu pasal 298, perbuatan yang merusak alat peraga kampanye pada pasal 311 undang-undang pemilu yang itu diatur karena berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu saja.
Konsekuensi yang didapat adalah hanya dapat di tuntut tindak pidananya dalam situasi dan konteks pemilu saja, perbuatan tersebu ditetapkan sebagai tindak pidana pemilu dan dapat dituntut dengan peraturan undang-undang pemilu saja.
sesuai dengan asas lex specialis derogate legi gareli yang artinya semua unsur-unsur delik yang ditemukan kembali dalam peraturan lain.
Sedangkan peraturan yang di sebut khusus itu disampaikan peraturan yang umum memuat pula satu atau beberapa unsur lainnya.
Sehingga unsur lainnya yang dimaksud adalah tidndak pidana pemilu yang berkaitan dengan proses pemilu.
Kedua, untuk aspek hukum formilnya yang berlaku di kitab undang-undang hukum acara pidana atau (KUHAP) bahwa nantinya pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkata tindak pidana pemilu harus menggunakan KUHAP.
Kecuali ditentukan lain di hukum lainnya dalam peraturan UU Pemilu kalimat “kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini” dalam pasal 262 UU Nomor 8 Tahun 2012 merupakan klausul yang memberi kekhususan tertentu bagi proses pemeriksaan dugaan tindak pidana pemilu. Khusus pada keterbatasannya waktu penyidikan, menuntutnya dan pemeriksaan oleh pengadilan.
Adanya batasan waktu dalam memeriksa untuk mengadili tindak pidana pemilu agar mendapatkan kepastian hukum pada tahapan penyelenggaraan pemilihan umum, dan ini membuat adanya keterbatasan dalam mengupayakan hukum bagi orang-orang yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pemilu.
Kalau dalam putusan pengadilan yang bisa dilakukan banding dan putusan pengadilan banding (Pengadilan Tinggi) sehingga punya sifat terakhir tidak dapat dilakukan upaya hukum lainnya.
Maka upaya kasasi termasuk upaya hukum biasa yang tersedia dalam pemeriksa tindak pidana pemilu.
Ketiga, dalam menegakkan hukum pidana pemilu tidak cuma melibatkan aparat penegak hukum dalam pidana biasa, tetapi juga melibatkan lembaga penyelenggara pemilihan umum yaitu badan pengawas pemilihan umum dan jajarannya.
Dalam penyidikan dugaan tindak pidana pemilihan umum harus terlebih dahulu harus di berikannya laporan atau rekomendasi dari bawaslu tingkat provinsi dan di tingkat bawaslu kabupaten atau kota.
Dengan bentuk mekanisme yang ada, dugaannya nanti harus dikaji oleh bawaslu dan jajarannya, jika hasil kajian ada dugaan atau disimpulkannya diduga pelanggaran tindak pidana pemilihan umum.
Sehingga hasil tersebut akan dilanjutkan rekomendasi pengawas pemilihan umum yang akan diteruskan ke penyidik tingkat kepolisian.
Maka dari itu jika dengan terlibatnya lembaga-lembaga dalam menangani tindak pidana pemilihan umum.
sehingga untuk menyamakan persepsi dan pemahaman yang ada pola penanganan tindak pidana pemilu oleh badan pengawas pemilu kepolisian dan kejaksaan yang dibentuknya dengan sebuah kelompok kerja bernama Sentra Gakkumdu (sentra penegakan hukum terpadu),
Yang berkedudukan sebagai tempat untuk menyelaraskan persepsi dan pemaham an dan pandangan yang terlibatnya dalam penanganan tindak pidana pemilihan umum antar instansi yang terkait.
Faktanya Gakkumdu dalam teknis dan praktiknya dijadikan dan ditugaskan untuk menyelenggarakan tindak pidana pemilu secara terpadu.
Namun juga memberikan penilaian bukti-bukti adanya dugaan tindak yang diserahkan bawaslu dengan jajaran terkait yaitu kepolisian, dimana memposisikan diri sebagai pihak yang menerima bersih laporan tanpa melakukan penyidikan lagi.
Jika dilihat dari UU Pemilu harusnya ke polisian mengerjakan penyidikan yang telah terjadi sesuai dengan dugaan tindak pidana pemilihan umum tersebut.
Adapula pada saat hasil pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas pemilihan umum tersebut sudah mengeluarkan hasil yang ada namun dari instansi lainnya karena tidak mengetahui detil kejadian sehingga terjadi miss pemahaman dan persepsi yang mebuat tidak sinkron.
Adanya perkara-perkara yang ditangani oleh majelis khusus yang dibentuk oleh pengadilan negeri dan juga pengadilan tinggi seharusnya hakim khusus pidana pemilu harus punya syarat dan kualifikasi pengangkatan sesuai dengan keputusan Ketua MA RI.
Dengan demikian adanya spesifikasi sistem peradilan pidana pemilu yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Hambatan-hambatan dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Di antaranya, lemahnya regulasi terkait kewenangan Sentra Gakkumdu dalam sistem penegakan hukum tindak pidana Pemilu.
Dalam prakteknya, dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu Gakkumdu tidak mampu menjalankan fungsi dan wewenangnya dengan maksimal, karena dalam regulasi ada keterbatasan kewenangan yang dimiliki.
Sebagai contoh, dalam proses penyidikan penyidik kepolisian yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu tidak memiliki kewenangan penuh dalam menentukan proses penyidikan, seperti menetapkan tersangka pelaku.
Namun keputusan itu tetap menjadi otoritas penuh atasan penyidik, yang dalam banyak kasus tidak jarang ini menjadi penghambat kinerja Gakkumdu
Selain itu ada kendala SDM penegak hukum yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu, singkatnya waktu penyelesaian perkara tindak pidana Pemilu, lemahnya koordinasi, supervisi dan pengawasan yang dilakukan kelembagaan penegak hukum yang tergabung dalam Gakkumdu.
Oleh sebab itu kedepan perlu dilakukan peninjauan ulang tentang perlu atau tidaknya keberadaan Sentra Gakkumdu ini dalam sistem peradilan pidana Pemilu.
Revisi UU Pemilu dalam rangka penguatan kelembagaan menjadi agenda mendesak dalam upaya penegakan hukum pidana pemilu di Indonesia. ***
Oleh: Elfahmi Lubis*