Pasaman Barat | Redaksi Satu – Kita tahu Jembatan Gantung dengan konstruksi yang dibangun banyak memiliki nilai artistiknya, jadi bukan hanya sebagai jalur transportasi yang melintasi sungai, danau, rawa, jurang, maupun rintangan lainnya, bahkan kini ada jembatan yang menyatukan pulau. (Barelang di Batam dan Suramadu di Jatim), menjadi destinasi wisata.
Pada era awal peradaban, khususnya zaman penjajahan kolonial Belanda, yang jelas ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah, di bumi Nusantara, tak terkecuali di Sumatera Barat khususnya Pasaman Barat.
Demi meraih ambisi tersebut, bagaimana menguras hasil bumi Nusantara, khususnya di Ujung Gading, maka Belanda membuka akses transportasi yang memadai, dengan membangun Jembatan Gantung.
Jembatan Gantung Ujung Gading ini terletak di Kenagarian Ujung Gading Kecamatan Lembah Melintang Kabupaten Pasaman Barat Provinsi SumatraBarat.
Jembatan Gantung Ujung Gading pertama kali dibangun oleh Belanda pada tahun 1929, berdiri di atas Batang Sikabau yang menghubungkan desa Kuamang dan Ujung Gading serta merupakan jalan ke Pantai Barat Sumatera, tepatnya ke Air Bangis Kecamatan Sei Beremas.
Pada saat proses pembangunan jembatan tersebut, Belanda memanfaatkan para tokoh masyarakat setempat sebagai pekerja kasarnya.
Dari pekerjaan jembatan tersebut, sudah jelas keinginan memonopoli perdagangan rempah-rempah dan mengeruk kekayaan alam sebanyak mungkin dari Bumi Ujung Gading.
Itulah makanya dalam proses pembangunan jembatan gantung tersebut, sebagai pekerja kasarnya adalah para tokoh masyarakat setempat, ini sebagai salah satu usaha Belanda dalam meredam pergerakan perlawanan dan sekaligus penumpasan para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Terlepas dari hal tersebut di atas, mari kita tilik sekilas cerita Sejarah Jembatan Gantung Ujung Gading Pasaman Barat.
Kebijakan pembangunan jembatan Gantung Ujung Gading sebagai salah bentuk infrastruktur transportasi secara esensial yang dapat merangsang dan memberi peluang pertumbuhan sosial maupun ekonomi khususnya di Kenagarian Ujung Gading.
Pada dasarnya pembangunan jembatan tidak hanya bertujuan untuk alat penghubung saja, tetapi juga mempunyai tujuan dan fungsi di antaranya dari segi perekonomian, jembatan dapat mengurangi biaya transportasi.
Dan dari segi efisiensi waktu, dengan adanya jembatan dapat mempersingkat waktu tempuh pada perjalanan darat yang saling terpisah.
Di era kemerdekaan kini, jembatan juga dapat meningkatkan daerah tertinggal untuk dapat lebih berhubungan dengan daerah lain dengan mudah.
Pembangunan jembatan juga dapat meningkatkan interaksi sosial antara daerah yang dipisahkan oleh sebuah sungai, rawa atau jurang, bahkan laut sekalipun.
Kini Jembatan Gantung Ujung Gading yang terletak di Kenagarian Ujung Gading, Kecamatan Lembah Melintang, kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatra Barat, tersebut hanya tinggal masa lalu.
Sejarah, yang meninggalkan cerita dari semua kenangan generasi ke generasi sesuai masanya.
Semua cerita, pahit, manis dan indahnya memang kadang terngiang kembali, tapi mungkin sebahagian menganggap itu hanya legenda saja.
Bahkan, semua cerita yang ada di dalamnya larut dan terlupa atau dilupakan dengan munculnya era baru, bahkan di era tehnologi dan melanial saat ini.
Agar cagar bangunan jangan terlupakan sebagai sejarah, kini generasi baru khususnya melanial di Ujung Gading, karena tidak mampu membangun atau merehab kembali Jembatan tersebut.
Kini mereka berusaha melihat peninggalan bangunan masa lalu itu, dengan merawat dan mencoba memoles atau merehab dari sisi keindahan agar tidak punah ditelan masa.
Mereka berusaha untuk memunculkan kembali cerita dari generasi terdahulunya melalui objek yang menjadi sejarah baru.
Harapan sejarah baru tersebut, adalah lanjutan cerita masa lalu melalui Monumen bangunan dan semua cerita di dalamnya yang mereka rawat di masa kini untuk diwariskan ke generasi yang akan datang.
Seperti yang disampaikan oleh Komunitas TEXAS Generation Ujung Gading Lembah Melintang kepada media ini, mereka tak ingin monumen sebagai sejarah masa lalu, menghilang dari alam pikiran mereka.
“Biarlah orang-orang dari masa lalu yang berlagak lupa, bahwa dulu masa mudanya, mereka identik dengan jembatan gantung yang indah dengan Sungai Batang Siorbo mengalir di bawahnya,” ujar Deni Meilizon.
Deni Meilizon menceritakan kepada media ini, Jumbaten Gantuong (Jembatan Gantung) ini, dulu saat ia kecil, ia masih melihat berfungsinya jembatan gantung ini sebagai penghubung antara Pasar Ujung Gading dengan wilayah seberang Sungai Batang Siorbo, sebuah sungai besar yang membelah Ujunggading.
Diterangkan Deni lagi, berdasarkan cerita dari orang tuanya, Sarana penyeberangan ini dibangun oleh Belanda dengan maksud agar aliran logistik dan pasukan untuk menguasai medan pertempuran di Ujung Gading hingga Air Bangis dan wilayah sekitarnya lancar.
“Jumbaten Gantuong’ Kebanggaan di masa nya, Kini, bangunan penuh sejarah ini dipensiunkan penggunaannya, dengan telah adanya dibangun sebuah jembatan baru yang lebih kuat dan megah tepat di samping jembatan lama, jembatan buatan Belanda yang oleh penduduk sekitarnya disebut dengan “Jumbaten Gantuong” bagai seonggok kerakak di atas batu. Hidup segan mati tak mau,” terangnya.
“Jumbaten Gantuong dengan sejuta kisah, tinggal Seuntai benda bersejarah yang kemudian disebut-sebut sebagai ikon Ujung Gading ini, kini betul-betul digilas perputaran waktu. Ada tapi tiada. Habis ditelan euforia masa lalunya yang berguna dan bermanfaat di masa nya terhadap mobilitas masyarakat.
Menurut Deni, Jembatan ini (dan juga banyak bangunan bersejarah di negeri ini) seolah dianggap benalu oleh Pemerintah, hanya sebuah objek yang menghabiskan anggaran negara saja, sebab dianggap tidak ada gunanya lagi, selain sebagai wujud rasa segan karena nanti dianggap tidak mempedulikan nilai-nilai sejarah.
“Jumbaten Gantuong’ Bagai Seonggok Kerakak di Atas Batu. Hidup Segan Mati Tak Mau
Jumbaten Gantuong’ kebanggaan dengan segudang kisah,” ucapnya.
Mereka yang dahulunya hidup di masa lalu, pernah menyaksikan kejayaan bangunan bersejarah ini, pernah merasa menangguk manfaat dari keberadaannya tapi ketika hari ini mereka pada kenyataannya sudah mulai menua.
Mereka kini lebih disibukkan untuk memikirkan diri sendiri, alih-alih dituntut oleh anak, cucu dan kemenakannya untuk menyelamatkan Jembatan gantung yang ironisnya kini telah hidup terpatri sebagai sebuah museum masa lalu yang bersemayam di benak generasi saat ini, masa kini.
Generasi yang tidak pernah tahu bagaimana dulu jembatan itu di bangun. Generasi yang tidak pernah menjejakkan kakinya di atas jembatan itu.
Generasi yang pada ghalibnya tidak memiliki jalinan emosional dengan bangunan yang timbul dari perjalanan cerita sejarah itu.
Jumbaten gantuong, yang kawat-kawatnya silang menyilang merentang ke seberang, besi-besinya besi kelas satu itu dan keberadaannya sering dinyanyikan dalam lagu, dendang dan rabab kini semakin terbenam dipeluk waktu.
“Dibenami semak dan ditampar oleh paparan cahaya matahari nan garang,” Gumamnya mengakhiri.
(Zoelnasti)