spot_img

BLT: Ketika Data, Moral, dan Keadilan Tidak Lagi Berjalan Seiring

Blt
Gambar ilustrasi warga penerima BLT. Foto. Dok. Org
redaksisatu.id – Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sejatinya dirancang sebagai bantalan ekonomi bagi keluarga miskin, rentan miskin, lansia tak berdaya, buruh harian yang kehilangan penghasilan, serta warga kecil yang benar-benar terdampak situasi ekonomi.

Namun dalam praktik di banyak desa, termasuk kasus yang kini ramai dibicarakan, BLT lebih sering menjadi ironi daripada solusi. Sejumlah warga yang kehidupannya jauh lebih mapan, bahkan tidak berdomisili di desa setempat, justru menerima BLT.

Sementara itu, warga yang kulkasnya kosong, atap rumahnya bocor, dan penghasilannya tak menentu malah tidak masuk dalam daftar penerima. Pertanyaan yang muncul sederhana: di mana sebenarnya keadilan itu berada?

Kriteria BLT yang Jelas, tetapi Tidak Selalu Dijalankan

Sesuai aturan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Permendes PDTT setiap tahun, kriteria penerima BLT sebetulnya sudah sangat jelas:
1. Kehilangan atau tidak memiliki mata pencaharian tetap.
2. Tidak menerima bansos lain seperti PKH atau BPNT.
3. Termasuk kategori miskin atau rentan miskin.
4. Berdomisili di desa tersebut secara nyata (domisili faktual).

Dengan empat kriteria dasar itu saja sebenarnya sudah bisa menyaring siapa yang layak dan siapa yang tidak. Namun faktanya, proses pendataan di lapangan ternyata tidak semulus teorinya.

Masalah Utama: Data Tidak Pernah Benar-Benar Bersih

Salah satu akar persoalan adalah DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang tidak rutin diperbarui. Banyak warga yang dulu miskin, kini mapan, namun datanya masih tercatat sebagai penerima potensial. Ada juga warga yang tinggal di kota, bahkan di luar provinsi, tetapi namanya tetap menempel sebagai warga miskin desa.

Sayangnya, di sejumlah desa, pendataan tidak dilakukan dengan verifikasi lapangan yang ketat. Akibatnya, nama-nama lama yang sebenarnya sudah tidak tepat sasaran tetap dipertahankan.

BACA JUGA  Seorang Penumpang Bus NPM Tujuan Bandung Pingsan Usai Divaksin

Praktik Nepotisme yang Masih Menghantui

Masalah berikutnya adalah nepotisme — penyakit lama yang belum sembuh.
Beberapa aparat desa memilih memasukkan nama keluarga, kerabat, bahkan orang yang dekat secara politik. Ada pula penerima BLT yang nyata-nyata tidak pernah hadir dalam kegiatan masyarakat, tidak tinggal di alamat KTP, dan bahkan kehidupannya lebih mapan daripada sebagian besar warga yang benar-benar membutuhkan.

Fenomena seperti ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.

Rakyat Kecil yang Tidak Tahu Harus Mengadu ke Mana

Bagi banyak warga miskin yang tidak menerima BLT, suara mereka sering kali tenggelam. Mereka tidak berani protes karena takut dianggap “mengemis bantuan” atau takut hubungan sosial dengan perangkat desa menjadi renggang.

Padahal, mekanisme pengaduan sangat jelas: Warga berhak mengajukan protes melalui RT/RW, menyampaikan keberatan kepada BPD, meminta Musdesus (Musyawarah Desa Khusus) untuk perbaikan data, bahkan bisa melapor ke Dinas PMD Kabupaten apabila keberatan tidak diproses.

Sayangnya, sebagian besar warga tidak mengetahui hak ini. Mereka hanya bisa mengeluh dalam hati sementara ketidakadilan terus berjalan setiap bulan.

BLT Adalah Uang Negara, Bukan Hak Istimewa yang Bisa Dititipkan

Perlu digarisbawahi: BLT adalah uang negara. Bersumber dari Dana Desa, yang setiap rupiahnya berasal dari pajak rakyat dan anggaran negara. Karena itu, tidak boleh ada satu pun orang yang menerimanya tanpa alasan yang sah.

BLT bukan hak istimewa, bukan hadiah politik, dan bukan jatah keluarga aparat. BLT adalah penyelamat bagi warga kecil yang benar-benar kepepet — mereka yang mengandalkan nasi dengan garam, mereka yang penghasilannya tidak menentu, dan mereka yang hidup dari hari ke hari.

BACA JUGA  Karya Din Saja. Makna Zikir Dalam Antologi Sajak Namaku Zikir .

Saatnya Desa Berbenah: Data Harus Jujur, Proses Harus Transparan

Jika ingin keadilan benar-benar hadir, langkah-langkah berikut wajib dilakukan:
1. Pembaruan data secara berkala, Verifikasi lapangan harus ketat, bukan sekadar menyalin nama lama.
2. Transparansi hasil pendataan, Tempelkan daftar calon penerima BLT di papan informasi desa agar publik bisa memberi masukan.
3. Libatkan BPD dan tokoh masyarakat, Pendataan tidak boleh dilakukan sepihak oleh perangkat desa.
4. Musdesus untuk memperbaiki data salah sasaran, Aturan memperbolehkan perubahan data kapan pun ada temuan.

BLT Bukan Sekadar Bantuan, Tetapi Tanggung Jawab Moral

BLT tidak hanya menyangkut bantuan uang, tetapi juga menyangkut moralitas pemerintah desa dalam mengelola hak rakyat kecil. Ketika warga kaya menerima BLT sementara warga miskin terpinggirkan, maka yang rusak bukan hanya data, tetapi nurani.

Desa harus kembali pada jati dirinya: melindungi, melayani, dan menyejahterakan warganya — terutama mereka yang paling lemah. Sampai keadilan benar-benar berdiri, suara rakyat tidak boleh diam.

Disclaimer
Opini dalam artikel ini disampaikan berdasarkan pengamatan lapangan, pengalaman warga, serta regulasi yang berlaku sebagaimana dipahami oleh penulis pada saat artikel dibuat. Pembaca diimbau untuk melakukan verifikasi dan konsultasi kepada pihak berwenang atau pemerintah desa terkait apabila membutuhkan informasi yang lebih rinci dan akurat.
Pernyataan mengenai dugaan politisasi BLT dalam tulisan ini bersumber dari suara masyarakat, kesaksian warga, serta dinamika sosial yang berkembang di lapangan. Tulisan ini tidak bermaksud menuduh pihak tertentu, melainkan mengangkat fenomena umum yang dirasakan banyak warga di tingkat desa. Redaksi mendorong seluruh pihak untuk mengedepankan transparansi, objektivitas, dan integritas dalam penyaluran bantuan sosial.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

spot_img