Iklan
BerandaBUDAYASASTRAKarya Din Saja. Makna Zikir Dalam Antologi Sajak Namaku Zikir .

Karya Din Saja. Makna Zikir Dalam Antologi Sajak Namaku Zikir .

OLEH .Sastri Sunarti Sweeney

Mari Mengenal Din Saja

 Din Saja alias Ade Soekma, alias Fachruddin Basyar adalah seorang penyair, seniman, budayawan, dan juga seorang aktivis kesenian yang tidak pernah berhenti pada satu titik. Senantiasa berproses mencari jatidiri dan hakikat diri sebagai seniman, penyair, dan insan seni yang memperlihatkan jalan panjang yang sudah dilaluinya selama ini.

Bermula dari Banda Aceh lalu Din Saja merantau ke Padang dan akhirnya kembali ke Banda Aceh Din Saja tidak berhenti sebagai seniman. Berdasarkan pernyataannya dalam kata pengantar antologi ini Din Saja mengakui bahwa eksistensi sebagai penyair baru dimulainya sejak tahun 1990.

Din Saja

Tahun-tahun sebelumnya Din Saja lebih dikenal sebagai pekerja teater, aktor, dan sutradara. Begitulah saya mengenal Din Saja alias Ade Soekma awalnya sebagai seorang actor yang memiliki permainan watak yang memukau pada tahun-tahun 1980-1990-an di kota Padang.

Ketika diminta membahas sajak-sajak Din Saja dalam waktu yang relatif singkat oleh panitia yakni hanya 3 hari saya terpaksa bertungkuslumus melakukan close reading ‘pembacaan yang intensif’ agar dapat memahami isi dan kandungan serta pesan yang dimuat dalam sajak-sajak Din Saja ini.

Satu catatan penting yang berhasil saya temukan dalam antologi sajak Din Saja ini, sebagaimana sudah dinyatakan oleh penyairnya bahwa antologi puisi ini adalah sebuah catatan dari berbagai peristiwa yang sudah dialami, disaksikan, dan dirasakan sendiri oleh penyair.Terutama sejak Din pindah ke kampung halaman Ibundanya, di Banda Aceh. Sebagaimana tertera dalam catatan kaki sajak, tahun 1990 merupakan tonggak awal bagi Din mulai menulis sajak di kampung halamannya.

Dua Narasi Besar dalam Sajak Din Saja

Dua peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Aceh dialami oleh Din ketika ia menetap di Banda Aceh. Pertama adalah pertikaian antara GAM Dan Pemerintah Pusat dan kedua adalah bencana tsunami yang melanda Aceh tahun 2004.

Kedua peristiwa bersejarah itu menjadi faktor penggerak bagi Din menulis sajak. Sajak-sajkanya sangat dipengaruhi oleh peristiswa sosial budaya dan politik yang pernah terjadi di Aceh pada masa itu. Ada orang yang menulis memoir untuk merekam dan mencatat peristiwa yang dianggapnya penting dalam hidupnya, atau biografi, tetapi Din memilih menulis sajak. Oleh sebab itu sajak-sajak Din memuat segala kesan, pesan, dan keprihatinannya terhadap situasi yang terjadi di Aceh sebelum perjanjian perdamaian antara GAM dan Pemerintah Pusat.

Di sisi lain, menulis sajak bagi Din pada masa itu juga merupakan salah satu bentuk perlawanan (silent resistensi) dan protes atas ketidakadilan yang terjadi secara kasat mata di hadapannya. Melalui sajak-sajaknya Din mecoba melakukan sebuah trauma healing’ terapi pribadi’ yang mungkin disadari atau tidak oleh penyair. Dan menulis sajak juga membantunya bertahan dalam situasi yang teramat menekan secara psikologis akibat berbagai peristiwa mencekam, tragedi kemanusiaan yang terjadi silih berganti di sekelilingnya. Ibarat wartawan, ia mengamati dan mencatat peristiwa demi peristiwa yang terjadi itu sehingga lahirlah sajak-sajaknya yang berkisah tentang anak yang kehilangan Bapak, suami yang kematian istri, dan orang-orang yang mati kena tembak, diciduk, dan dibunuh di dalam rumahnya, atau kematian tokoh masyarakat seperti Teungku Bantaqiah.

Orang-orang saling hidup dalam kecurigaan, tentara mencurigai warga sipil, warga sipil tidak memiliki kepercayaan kepada tentara, dan GAM yang bisa saja menjadi pahlawan sekaligus pembunuh saudaranya sendiri. Dua peristiwa penting yang melanda Aceh itu telah melahirkan berbagai trauma psikologis dan sosiologis yang disebut oleh Din sebagai luka yang tak tersembuhkan. Mari kita perhatikan kutipan sajaknya yang menggambarkan situasi yang penuh ketidakpastian di Aceh pada suatu masa itu.

 

Aceh Dalam Bahaya

 

setiap hari ada saja orang-orang memikul keranda

mengusungnya kedalam kuburan yang dangkal

dengan hati yang cemas tanpa do’a dan tabur bunga

karena setiap nyawa sangat berharga

setiap orang kini menyimpan dendam

untuk suatu ketika tumpah menjadi darah

lalu apa arti kehidupan berbangsa dan bernegara

lalu apa arti kebersamaan dan kasih-sayang

 

Seperti masyarakat Aceh lainnya, Din Saja juga telah menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di sana. Kematian-demi kematian menjadi pemandangan sehari-hari di sana sehingga untuk menguburkan sebuah nyawapun kadang hanya diperlukan sebuah kuburan yang dangkal. Dua peristiwa itu yakni pertikaian sosial-politik, dan bencana alam dahsyat telah meninggalkan luka yang dalam bagi masyarakat Aceh dan Indonesia. Berangkat dari luka itu Din kemudian menjadikannya sebagai batu ujian untuk terus bertahan atau kalah dalam ‘peperangan’ batin itu. Sebagai manusia dan penyair ia memilih untuk menghadapi luka psikologis itu dengan menuliskan semua kepedihan itu dalam sajaknya sebagaimana yang disampaikannya dalam kutipan ini.

BACA JUGA  Mantan Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsudin Bantah Terima Fee DAK 2017

“Puisi-puisi yang aku tulis, sejak tahun 1990 sampai sekarang, adalah puisi-puisi yang mengisahkan tentang realitas hidup yang terjadi di tempat mana aku hidup. Untuk saat ini, aku hidup di negeri Aceh, tanah tumpah darahku, tanah kelahiran dan kuburan ibuku, yang senantiasa telah mendapat kezaliman dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Aceh adalah negeri yang telah dinodai oleh ambisi dan keserakahan manusia dari berbagai latar belakang kehidupan. Tanah Aceh adalah tanah yang telah “diperkosa” atas nama Tuhan, untuk sebuah kepentingan keserakahan. Untuk itu, untuk sebuah “perlawanan” terhadap kezaliman, aku menulis puisi-puisi untuk sebuah catatan, sebuah kisah, tentang Aceh.”

Dalam kutipan di atas jelas tujuan dan maksud Din menulis puisi adalah sebagai ‘dokumen sejarah’ pribadi yang mencoba menggambarkan realitas yang dilihatnya menjadi realitas yang lain dalam sajaknya. Dengan demikian sajaknya merupakan sebuah proses mimesis dari realitas ‘kehidupan’. Plato dan Aristoteles menyebutkan bahwa sebuah karya sastra seperti puisi lahir dari dunia pengalaman, meski karya itu kemudian tidak akan melahirkan realitas yang sesungguhnya melainkan hanya sebuah peniruan.

Dengan demikian secara hierarkis karya seni seperti sajak Din berada di bawah kenyataan. Pandangan bahwa seni berada di bawah kenyataan ini kemudian ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai catharsis. Di samping itu juga karya seni menurut Aristoteles juga berusaha membangun dunianya sendiri, (Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, 2004:70). Dengan mengacu kepada pendapat Aristoteles di atas, saya juga membaca bahwa menulis sajak bagi Din adalah sebuah pencapaian katarsis sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menulis sajak sebagai upaya therapy healing dalam mengobati luka psikologis, sosiologis, dan politis yang dilakukan oleh Din saja.

Secara psikologis sajak-sajak ini merupakan obat menenangkan jiwanya, secara sosiologis, puisi adalah alat untuk mengabarkan eksistensi dan resistensi individual seorang penyair, dan secara politis sajak adalah alat untuk menyampaikan ideologi politik yang diyakininya yakni menolak segala bentuk kezaliman yang dilakukan oleh berbagai kalangan, kelompok, partai, dan penguasa di bumi Aceh. Ia menolak sikap negara, kelompok, dan golongan yang sering mengatasnamakan rakyat ternyata banyak menghasilkan penindasan kepada rakyat itu sendiri.

Perlawanan melalui sajak seperti yang dilakukan oleh Din sudah sangat banyak dilakukan oleh seorang penyair di dunia seperti perlawanan yang dilakukan oleh Jose Rizal dari Filipina, para penyair eksil Indonesia, Gabriel Garcia Marquez, Ws, Rendra, hingga perlawanan yang dilakukan oleh seorang buruh Indonesia yang akhirnya menjadi martir yakni Wiji Thukul.

Gagasan penulisan sajak yang bersumber pada realitas ini kemudian melahirkan sajak pamflet yang dulu pernah ditulis oleh WS. Rendra tahun 70-an-80-an. Kelemahan sajak-sajak dengan gagasan tema besar seperti itu cenderung melahirkan sajak yang miskin dengan permainan metafora dan personifikasi karena yang dikejar adalah penggambaran yang mendekati realitas tadi.

Ketika Din menggambarkan ketidakadilan itu maka ia terpaksa menulis sajak yang realis sehingga menghambatnya untuk dapat bermain-main dengan metafor ataupun piranti puitik yang penuh dengan personifikasi maupun perumpamaan. Tetapi bukan berarti sajak-sajak Din secara intriksik dan struktural hampa dengan perumpamaan karena di beberapa sajak ia berhasil menggunakan piranti puitik yang orisinil seperti sajaknya yang berjudul “Mawar”

 

Mawar

 

sekuntum mawar

batangnya alif

daunnya lam

kelopaknya mim

mekar dalam hati

 

Banda Aceh, Maret 1993

 

Sajak di atas sangat padat dan ringkas. Gagasan ide disampaikan dengan diksi yang hemat, serta metafor yang memiliki kesinambungan dengan tema utama antologi sajaknya yakni mencoba menafsirkan ketuhanan dan spritualitas individunya. Setelah membaca sajak Din yang berjudul Mawar di atas, saya teringat kepada mawar yang lain. Sebuah mawar dalam sajak Jalaluddin Rumi seorang penyair mistis (sufi) dari Persia yang lahir pada 6 Rabiulawal 604 H (30 September 1207 M) dan meninggal pada tanggal 3 Jumadilakhir 627 H (16 Desember 1273 M). Rumi mengingatkan kita akan kelemahan bahasa tulisan dan simbolis yang tersusun dari seperangkat huruf dan lambang dan ia menyampaikan sebagai berikut:

BACA JUGA  Buka Usaha, Warga Lampung Selatan Berhasil Ditipu Rp17 Juta

Pernahkah Anda kenal nama, tanpa

realitas? Atau pernahkah menyunting sekuntum

mawar Dari M A W A R?

Anda telah menyebut nama itu: pergi,

dan carilah yang empunya nama, Bulan itu

di langit, bukan di dalam air.

Demikian Rumi mengajarkan kepada kita tentang bagaimana menulis dan menggunakan huruf dan kata sebagai sebuah perlambang. Jelas Din juga pernah membaca syair-syair yang ditulis oleh Rumi. Bahkan ia menulis satu sajak yang khusus ditujukannya kepada penyair Sufi dari Persia tersebut yang diberinya judul “Rumi”. Dan di lain hal, sajak Din yang berjudul “Mawar” ini telah berhasil menarik perhatian saya sebagai pembaca untuk mencari tahu mawar yang mana yang dimaksudkan oleh Din dalam sajaknya itu. Apakah telah terjadi sebuah proses yang dalam ilmu sastra kita sebut sebagai peristiwa intertekstualitas dalam karyanya.

Baris /sekuntum mawar/batangnya alif/daunnya lam/kelompaknya mim/ dalam sajak Din di atas memperlihatkan kemampuan individual seorang penyair yang berhasil menggabungkan pengetahuan seorang penyair terhadap susunan huruf Hijaiyah dalam Al-quran menjadi metaphor dalam sajaknya. Huruf Alif dalam urutan Hijaiyah merupakan huruf awal yang menyiratkan kebenaran, kelurusan, keteguhan, dan juga sebuah arah yang menuju kepada Arrasy ‘langit’ (Tuhan). Huruf Lam merupakan huruf ke 23 dalam susunan Hijaiyah dapat dibaca sebagai penanda huruf konsonan. Sedangkan mim merupakan susunan huruf ke 24 dan jika digabungkan ketiga huruf Hijaiyah [ Alif, Lam, dan Mim ] dapat dibaca sebagai [alam] atau [ilmu] yang memberi makna yang lebih tinggi pada kata mawar yang mekar dalam hati sang aku lirik dalam sajak Mawar di atas.

Kosmologi ketuhanan jelas mendasari Din memilih metaphor huruf Hijaiyah dalam sajaknya di atas sebagai wujud pengejawantahan mengingat Tugan tadi (zikir) yang akan kita bahas lebih jauh berikut ini.

 

Makna Dzikir dalam Antologi Sajak Din Saja

Dua narasi besar yang menjadi tema dalam sajak Din seperti yang sudah disinggung di atas yakni tema pertikaian sosial dan politik dan bencana alam Tsunami yang melanda Aceh ternyata merupakan sajak yang banyak mendapat sorotan dalam antologi sajak ini. Kita dapat membacanya dalam sajak-sajak Din yang berjudul “Siapakah”, “Catatan Sembilanpuluhdua”, “Meulaboh”, “Catatan Tanah Kelahiran”, “Sebuah Episode Kontekstual”, “Kepada Tanah Kelahiran”, “In Memoriam (1)”, “Ode Buat Teungku Bantaqiah”, “Serambi Mekkah”, “Aceh Dalam Bahaya,” “Kebangkitan”, “Jerit Seorang Demonstran (kepada kautsar)”, “Antropologi Cinta Aku Indonesia dan Aceh”.

Dua narasi besar yang dominan dalam sajaknya itu memperlihatkan dia sebagai seorang penyair yang moralis. Ia konsisten membicarakan nilai-nilai moral yang diyakininya sebagai kebenaran, kritik tajamnya kepada penguasa yang banyak menyengsarakan rakyat, tak kira penguasa yang dimaksudnya adalah GAM maupun Pemerintah Pusat dalam praktiknya ternyata banyak melanggar hak rakyat Aceh.

Tetapi yang menariknya dia tidak berhenti pada titik itu saja. Dalam proses kreatifnya ia tidak melulu menghujat penguasa, melainkan ia berlanjut pada taraf yang lebih tinggi yakni melakukan sebuah kontemplasi.   Ia sampai pada taraf pengristalisasian realitas yang dilihat, dialami, dan diamatinya menjadi sebuah karya yang mengajak kita merenungi peristiwa atau realitas itu sebagai realitas baru dalam sajaknya.

Sebagai hamba Tuhan ia juga menciptakan sajaknya sebagai alat berkomunikasi dengan Tuhan sang Khaliknya. Kerinduan untuk suatu hari nanti bertemu dengan sang Khalik lebih mempesona penyair. Itulah sebabnya aku lirik dalam sajak-sajaknya kemudian terutama setelah peristiwa Tsunami melahirkan sajak-sajak yang lebih relijius. Sikap merendahkan diri kepada Tuhan sebagai wujud dan implementasi mencapai makrifat tergambar dalam sajak-sajaknya. Sajaknya itu sendiri adalah sebuah zikir. Dzikir secara etimologi bermakna menyebut dan mengingat. Dzikrullah bermakna menyebut dan mengingat Allah SWT. Dzikir merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Islam mengenal dua jenis Dzikir pertama Dzikir muqayyad (terikat/tertentu) dan kedua dzikir muthlak(bebas).

BACA JUGA  Sambut Tabligh Akbar, Ponpes Al Qura'nniyah Gelar Jalan Santai

Sajak-sajak penyair ini bisa kita lihat sebagai representasi dari wujud dzikir muthlak yakni mengingat Tuhan dalam sajaknya dengan bahasa dan pilihan kata secara bebas. Ingatan kepada Tuhan dalam sajaknya itulah yang merupakan dzikir sang penyair, seperti yang tergambar dalam sajaknya yang berjudul “Pada Sebuah Titik”, “titik Garis”,“Renungan Gempa Tsunami”, “Aku Tsunami Engkau”, “Tsunami Nyanyian Sunyi”, “Aku Tsunami Aceh”, “Aceh Humam Tsunami”, “Damailah Jiwa Damai”, “Irama’, dan “Ragu” adalah contoh beberapa sajak yang memperlihatkan cara Din berzikir mengingat Tuuhan dalam sajaknya.

Kata Zikir juga mengacu kepada satu karakter dalam sajaknya yang merepresentasikan seorang anak laki-laki gembel yang sedang mengembara di tanah Aceh. Pengembaraan, penderitaan, dan kedekatan dengan kehidupan orang-orang papa merupakan salah satu jalan yang biasa ditempuh oleh para penganut tarekat yakni suatu persaudaran mistik dalam Islam atau semacam ordo dalam terminologi Katotik. \

Tarekat diserap dari bahasa Arab Tariqat’ yang artinya jalan, yakni jalan yang ditempuh seorang salik (pengembara) secara perlahan-lahan melalui tahapan-tahapan (maqamat) tertentu dan metode-metode tertentu dengan tujuan bersatu dengan realitas (al-Haqq) (R. Mulyadhi Kartanegara, 1986: 29). Kedekatan dengan kesengsaraan, penderitaan, dan menjauhi kesenangan dan kenikmatan duniawi inilah yang juga digambarkan oleh Din dalam sajak-sajaknya sebagai upaya dan usaha mengasah kepekaan dan kebeningan jiwanya demi mencapai makam makrifat yang tertinggi itu.

Tetapi apakah dia sudah mencapai makam yang tertinggi itu, hanya dia dan Tuhannya yang maha mengetahui. Sebab bagi seorang Din Saja bukan neraka atau surga yang terutama baginya karena penentuan surga dan neraka itu adalah hak tertinggi Allah yang termaktub dalam sajaknya. Ketakberdayan, kelemahan, kehinaan dan sikap merendahkan diri seorang hamba di hadapan Khaliknya adalah sebuah wujud kepasrahan yang kerap disampaikan oleh seorang penganut tarekat seperti yang juga kita jumpai dalam sajak Din di bawah ini.

Ragu

o Yang Maha Menentukan

hidupku dalam genggaman-Mu

bakarlah hatiku yang angkuh ini

sampai hangus tak berbentuk

sampai aku tak berdaya

untuk menyatakan kehendak

Banda Aceh, 2006

 

Keterpesonaan dan kekuatan yang dimiliki oleh sebuah laku zikir juga menjadi salah satu cara yang kerap digunakan oleh penganut tarekat untuk semakin mendekatkan diri dan menyatukan dirinya dengan Al-Haqq. Keterpesonaan kepada kekuatan zikir itu digambarkan oleh Din dalam salah satu sajaknya di bawah ini

 

Zikir Hujan

 

mendengar hujan zikir

aku terpana dalam gigil

terbayang ribuan saf

bersujud dalam derai airmata

melihat hujan zikir

aku tergamang dalam sepi

terkenang perjalanan lampau

dalam lembah untaian hitam

mengenang zikir hujan

ada embun menyelinap

membasuh luka yang karat

 

Banda Aceh, April 1998

Din saja

Dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan ada upaya lain yang lebih penting yang perlu dilakukan oleh seorang penganut tarekat yakni mengenal diri sendiri yang bila sudah sampai pada maqam ini bermakan telah mengenal sang Pencipta itu sendiri. Din menggambarkan upaya pengenalan diri itu dalam baris-baris sajaknya yang berbunyi sebagai berikut /akhirnya semua mati/jadi penyair tiada arti/bila raga hampa, jiwa tiada apa/lebih tak berarti/kiranya hidup mengenali diri/.

Demikianlah Din memformulasikan laku zikir dalam sajak-sajak-sajaknya yang memperlihatkan sebuah proses panjang pencapaian maqam demi maqam untuk dapat mencapai maqam tertinggi yakni makrifat tadi. Apakah Din sudah mencapai tujuannya hanya Tuhan dan dirinya yang mengetahuinya.

 

Daftar Pustaka

Abul Hasan An-Nadwi.1986. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair terbesar. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Kartanegara, R. Mulyadhi.1986. Renungan Mistik Jalal Ad-din Rumi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kutha Ratna, S.U., Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari  Strukturalisme hingga Poststrukturalisme

Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.

Trending

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.