Opini: Latin, SE
Redaksi Satu – Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 20 triliun tidak sesuai peruntukannya yang diberikan kepada PT BPUI (Persero) core bisnis non-asuransi, yang memaksakan diri untuk mendirikan anak usaha baru dibidang asuransi jiwa yang disebut IFG Life.
Penyertaan Modal Negara itu adalah uang rakyat yang digunakan untuk memperkuat struktur permodalan dibidang perasuransian dan penjaminan. Sekaligus memperbaiki kepercayaan publik pada sektor industri perasuransian tanah air.
Yang seharusnya Pemerintah mampu mengobati keuangan BUMN perasuransian atas kebutuhan akses permodalannya PT Asuransi Jiwasraya (Persero), guna menyelamatkan kepentingan hajat hidup orang banyak.
Upaya Penyehatan dan Penyelamatan BUMN Asuransi Jiwasraya ternyata menimbulkan paradok’s, yang pada akhirnya akan menutup secara paksa core bisnis Jiwasraya dengan merugikan para Pemegang Polisnya.
Pemerintah seharusnya mampu melindungi kepentingan konsumen yang sekaligus sebagai rakyatnya. Amanat UU Perlindungan Konsumen sektor jasa asuransi sudah sangat jelas.
UU Perasuransian juga sudah sangat jelas adanya. Hendaknya bisa diimplementasikan secara nyata guna melindungi kepentingan konsumen dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan disini keseriusan Pemerintah sedang diuji.
Kasus politisasi terhadap company Jiwasraya ini sudah menjadi perhatian serius bagi publik yang seharusnya menjadi skala prioritas utama Pemerintah dalam menyelamatkan lokomotif bisnis Negara.
Dan Negara yang seharusnya mampu bertanggungjawab atas terjadinya missmanajemen ditubuh perseroan Jiwasraya tersebut.
Pemerintah seharusnya mampu melestarikan keberadaannya khususnya terhadap seluruh portofolio asuransi milik negara itu, bukan justru ditindas seperti sekarang ini hak para konsumennya terlantar tanpa kepastian.
Program kerja Dewan Direksi yang menyesatkan publik, termasuk adanya pengajuan proposal dari Dewan Direksi Jiwasraya kepada Pemerintah melalui Kementrian BUMN atas Rencana Penyehatan Keuangan Jiwasraya disebut (RPKJ).
lmplementasi program restrukturisasi yang menyasar kepada seluruh konsumen polis Jiwasraya, hendaknya Pemerintah tidak mendukung, yang seharusnya mampu meluruskan kekeliruannya itu.
Adanya proposal RPKJ tersebut, justru sebagai bentuk tindakan perampasan hak konsumen polis. Pengkianatan terhadap industri perasuransian tanah air, yang sekaligus menghilangkan seluruh manfaat polis asuransi jiwa dalam dokumen perjanjiannya, merampas secara paksa manfaat
polis asuransi dan memotong uang simpanan polis bagi seluruh pemegang Polis Jiwasraya. Hal ini dinilai telah mengabaikan aturan perundang-undangan yang ada.
Bahwa dibalik misi Rencana Penyehatan Keuangan Jiwasraya (RPKJ) tersebut berpotensi ada dugaan praktek tindak pidana korupsi Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM).
Nilai besaran kerugian konsumen yang diderita, atas sekenario program yang berkedok Penyelematan itu, kepada seluruh pemegang polis Jiwasraya sebesar 23,8 triliun.
Pada akhirnya seluruh portofolio milik Jiwasraya akan diboyong ke penanggung baru yang telah ditunjuk sebelumnya. Hal ini diketahui tanpa melalui proses yang benar, tidak transparansinya dalam eksekusi transfer portofolio kepada asuransi IFG Life.
Hasil dari penerapan program restrukturisasi polis Jiwasraya itu dengan metode baill-in dan transfer. Ternyata berdampak menurunkan Hutang Klaim Perseroan Jiwasraya dimasamendatang dari total seluruh kewajibannya/liabilitas perseroan, menjadi tinggal hanya sebesar 35,8 triliun.
Melihat kondisi tersebut seharusnya pihak penegak hukum mampu melakukan upaya pencegahan sejak dini mungkin, agar penyalahgunaan kewenangan tersebut terhadap perseroan dapat dihentikan, untuk menghindari kerugian masyarakat yang lebih besar.
Sebagaimana diketahui dalam dokumennya surat OJK atas pernyataan tidak keberatannya terhadap proposal Dewan Direksi Jiwasraya. Bahwa total kewajiban hutang Klaim asuransi terhadap seluruh konsumen polis Jiwasraya, yang seharusnya dapat disegerakan oleh Negara-qq.
Jiwasraya secara keseluruhan totalnya sebesar Rp59,7 triliun estimasi per 31 Desember 2021.
Hal ini diakibatkan dari arogansi dan pengelolaan secara ugal-ugalannya Dewan Direksi Jiwasraya atas pembatalan perjanjian polis secara sepihak, tanpa melalui putusan hakim pengadilan terhadap seluruh pemegang polis Jiwasraya pada saat itu, pada 31 desember 2020.
Kesalahan fatal manajemen Jiwasraya melakukan tindakan sepihak, untuk merevisi seluruh total liabilitas perseroan atau kewajiban hutang perseroan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang atas suluruh liabilitas perseroan itu dipangkas sebesar 40%.
Akibatnya dari penerapan itu, atas program restrukturisasi polis Jiwasraya, yang menimbulkan kegaduhan publik.
Aktor intelektual pencetus sekenario Rencana Penyehatan Keuangan Jiwasraya ( RPKJ) yang menerapkan program restrukturisasi untuk menyasar seluruh konsumen polis Jiwasraya tersebut harus diungkap ke publik.
RPKJ tersebut telah diusulkan melalui Dewan Direksi Jiwasraya sebagai bentuk penyelesaian atas masalah yang ada di tubuh perseroan.
Hal ini menimbulkan kegaduhan publik yang menyebabkan kewajiban hutang klaim asuransi Negara-qq Jiwasraya menurun sebesar Rp35,8 triliun, yang direncanakan akan dialihkan ke penanggung baru pada saat itu.
Implementasi Program Restrukturisasi Pemegang Polis Jiwasraya menyesatkan publik. Hal ini justru membawa ketidak pastian baru, sekaligus merusak tatanan perasuransian Indonesia, yang selama ini telah dibangun, membutuhkan waktu yang sangat lama dalam membangun kepercayaan publik untuk memulai berasuransi.
Kondisi ketidak pastian tersebut menimbulkan kegaduhan publik atas nasib seluruh Konsumen Polis Jiwasraya yang ditelantarkan.
Mereka belum mendapatkan haknya sebagai konsumen polis/pemegang polis, yang pada umumnya dalam tekanan kondisi ketidak kepastian atas pembayaran uang polis asuransinya yang belum mendapatkan solusi dari Pemerintah.
Mereka telah menunggu sangat lama sejak Oktober 2018 pasca pengumuman diruang publik atas gagal bayar polis Jiwasraya senilai Rp802 miliar dari saluran bancassurance oleh Direktur Utama Jiwasraya, yang berinisial HTS. Tindakan destruksi tersebut hendakanya tidak didukung oleh Kementrian BUMN.
Sekenario Rencana Penyehatan Keuangan Jiwasraya disingkat (RPKJ) atas program restrukturisasi polis, yang ditandai sejak adanya pembatalan perjanjian polis secara sepihak oleh Dewan Direksinya yang sebelumnya telah diumumkan atas Program Restrukturisasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Direktur Utama Jiwasraya berinisal HTS, yang juga menjabat sebagai Ketua TIM Restrukturisasi polis Jiwasraya tersebut, mengumumkannya secara virtual diruang publik. Kemudian dilanjutkan dengan penawaran proposal skema restrukturisasi polis yang direncanakan diboyong ke asuransi lain.
Program jahanam tersebut membawa petaka besar bagi kelangsungan core bisnis Jiwasraya dimasamendatang, terhadap para pekerja, terhadap para pekerja Agen asuransi non-pegawai, dan juga seluruh insan didalamnya khususnya terhadap para Konsumen polis, menjadi sangat menderita kerugian.
Untuk itu para Pemegang Polis yang sebagai konsumennya melakukan penolakan, karena mereka dirugikan dan telah keluar dari perjanjian polis.
Diketahui program tersebut belum ada kejelasan dan kepastian, juga tidak ada jaminan kedepan akan seperti apa kelangsungannya, yang jelas menawarkan program cicilan klaim asuransi dan potongan uang polis yang tidak manusiawi. Hal ini mengingat terlalu banyak regulasi aturan perundang-undangan yang dilanggarnya ?
Belum ada pernyataan resmi dari Manajemen Jiwasraya maupun Kementrian BUMN atas penyelesaian klaim asuransi bagi konsumen yang menolak atau sedang berproses upaya hukum dipengadilan.
Atas pembayarannya yang telah tertunda cukup lama belum diselesaikan, bagi mereka yang menolak proposal restrukturisasi polis dengan model seperti apa belum jelas, metode penyelesainnya.
Tetapi yang ada hanya sebuah intimidasi kepada mereka selama ini. Bahkan yang sudah menang gugatan hukumpun dengan putusan hakim pengadilan telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht), belum juga mendapatkan kepastian pembayaran uang polisnya.
Pengamat asuransi KUPASI yang sekaligus penulis buku berjudul Tetralogi Robohnya Asuransi Kami; Irvan Rahardjo, SE. MM.ANZIIF dalam keterangannya, menyampaikan bahwa sepanjang Januari 2021 sampai dengan 23 November 2021
Telah terdapat 34 (tiga puluh empat) gugatan hukum yang diajukan oleh Pemegang Polis Jiwasraya terhadap para tergugatnya.
Bahwa pihak-pihak yang turut tergugat tersebut diantaranya PT AJS, Kemen BUMN, Kemenkeu RI, OJK, dan beberapa Bank penyalur produk asuransi milik Jiwasraya diseluruh kantor Cabang yang tersebar diseluruh Indonesia, belum menunjukan gelagat itikad baiknya.
Kata Irvan Rahardjo, bahwa gugatan hukum kepada Jiwasraya, atas pengelolaan bisnis ingkar janji tersebut, itu terjadi diseluruh Indonesia dalam kasus sengketa polis asuransi akibat wanprestasi Jiwasraya.
Dari 34 (Tiga Puluh Empat) penggugat yang sebagian konsumen polis Jiwasraya bervariasi jenis guhatannya seperti; perkara gugatan hukum PMH, perkara gugatan hukum wanprestasi, perkara gugatan class action, perkara gugatan hukum di PTUN, perkara gugatan hukum sederhana perorangan.
Hal itu telah diajukan sepanjang tahun 2021, dan masih akan terus bertambah seiring lambannya penyelesaian klaim manfaat polis asuransi.
Dari 5 (lima) gugatan hukum telah diputus oleh hakim pengadilan dimenangkan oleh Pemegang Polis dengan putusan incraht.
Diketahui itu juga belum mendapatkan kepastiannya, kapan pembayaran klaim manfaat asuransi dapat dipenuhi oleh penanggung.
Pembayaran klaim asuransi tersebut belum juga ada kepastian, 4 (empat) bulan berlalu telah menunggu, belum ada itikad baiknya dari PT AJS, kemen BUMN, Kemen Keuangan RI, untuk menjalankan amar putusan hakim pengadilan tersebut, kata Irvan lebih lanjut.
Kemudian 19 (sembilan belas) gugatan hukum masih dalam proses dipengadilan dan 10 ( sepuluh) gugatan hukum dicabut oleh majelis hakim dengan alasan yang tidak masuk akal.
Hal ini menunjukan bahwa tidak ada kepastian hukum bagi para konsumen polis Jiwasraya atas tuntutan sengketa polis yang sedang mencari keadilan di negeri sendiri. Kehadiran negara terlambat dalam menyelamatan industri perasuransian lokal yang sudah terlanjur mengalami krisis distrust publik.
Kemana kehadiran negara selama ini, jika kondisinya sudah demikian, tidak lagi ada kepastian hukum di Republik ini, kemana peranan lembaga pencegah antikorupsi (KPK RI) bukti perhatiannya dan para penegak hukum keadilan lainnya di negara ini.
Saat ini nasib jutaan konsumen polis dipertaruhkan nasib keberadaan uangnya, yang membutuhkan perhatian sangat serius dan komitment dari Pemerintah, untuk tetap berpedoman dalam menjalankan amanat UUD 1945.
Khususnya pada Undang-Undang Perasuransian Nomor 40 Tahun 2014, Pasal 1, Pasal 15, Pasal 53 ayat 1, 2, & 4, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sektor jasa, serta belum dijalankannya secara sungguh-sungguh atas implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) sektor industri perasuransian.
Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regullator dan pengawas industri perasuransian representavie dari Negara, yang seharusnya mampu melindungi hak-hak konsumen polis asuransi dan melindungi company core bisnisnya, dari pembusukan BUMN perasuransian dari dalam.
Ppada kenyatannya tidak bisa berfungsi dengan baik. Kemana lagi konsumen polis asuransi harus mengadu, bila lembaga penegak hukumpun tidak bisa dipercaya menjalankan amanatnya untuk menegakan rasa keadilan itu.
Terhadap nasib 5 (Lima) jutaan Konsumen Polis Jiwasraya dalam ketidak pastian. Mereka juga rakyat yang pada kondisi saat ini sangat terdampak oleh pandemi Covid-19,
Sungguh memprihatinkan kondisi keuangannya, telah menunggu sangat lama atas penyelesaian pembayaran uang polis dari Negara.
Berkaca dari aturan regulasi yang ada, penyelesaian klaim asuransi tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari, untuk pembayaran penyelesain klaim manfaat polis asuransi sejak pengajuan dokumen dinyatakan lengkap oleh penanggungnya.
Sangat buruknya pelayanan Jiwasraya sejak dinahkodahi orang-orang dari luar perusahaan, membuat rusaknya kepercayaan publik terhadap industri perasuransian itu sendiri.Telah menyita banyak perhatian publik baik ditingkat nasional maupun ditingkat internasional, atas upaya penyelesaian klaim manfaat asuransi yang lamban dan tidak profesional tersebut.
Uang milik para konsumenpun terpaksa harus terlalu lama menunggu sejak Oktober 2018 hingga sekarang ini. Meski konon Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 20 Triliun tersebut sudah digelontorkan ke PT BPUI (Persero) yang akan diteruskan untuk anak usahanya yang baru pada IFG Life.
Hingga artikel ini mengudara, mereka belum mendapat pembayaran uang klaim asuransi pasca telah dimenangkannya oleh hakim pengadilan dengan putusan incraht tersebut.
Nampaknya belum terbuka mata hatinya, para petinggi pejabat negara tersebut dari mulai pejabat Dewan Direksi Jiwasraya, pejabat Holding PT BPUI (Persero) Perasuransian dan Penjaminan, pejabat Kemen BUMN, dan pejabat Kemen Keuangan RI,
Sampai hari ini belum menunjukan itikad baiknya sebagai penyelenggara Negara yang baik dan profesional dalam menyalani kepentingan publik.
Penggunaan dana dari Penyertaan Modal Negara (PMN) yang tidak tepat sasaran menimbulkan masalah baru dikemudian hari, yang berujung dapat berpontensi fraud, atas penyalahgunaan uang rakyat yang salah satunya bersumber dari pungutan pajak.
Pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) yang salah alamat, bukan diperuntukan untuk penguatan akses permodalan industri perasuransian dan sekaligus untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap industri perasuransian itu sendiri pasca destruksi terhadap perseroan Jiwasraya.
Hal ini juga dapat dimintain pertanggungjawabannya baik secara politik maupun secara konstitusi.
Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diberikan sebesar 20 triliun, pada lembaga BUMN non-asuransi terhadap PT BPUI (Persero) yang core bisnisnya diluar sektor perasuransian menimbulkan kejanggalan bagi publik, harus dilakukan audit forensik secara khusus dan menyeluruh terhadap lembaga tersebut.
Agar publik mengetahui uang negara digunakan untuk apa, sekaligus uang rakyat tersebut agar tidak dijadikan sebagai bancakan kembali oleh para petinggi elit politik negeri ini.
Cukuplah sudah pengalaman dimasalalu menjadi catatan kelam sejarah bangsa ini. Berkaca dari mental pejabat Jiwasraya saat ini yang tidak memiliki kopetensi, minimnya pengetahuan asuransi, tidak profesional mengelola dana masayarat,
Telah membuat citra negara buruk atas industri perasuransian tanah air, rusaknya kepercayaan publik terhadap industri itu sendiri khususnya terhadap bisnis negara menjadi ancaman terbesar robohnya asuransi kami.
Sikap arogansi bukan cirikas sebagai pejabat negara, tidak cakap dalam pengelolaan secara sembrono, ugal-ugalan yang terjadi ditubuh Jiwasraya perlu dihentikan dan diganti dengan orang-orang yang expert dibidangnya.
Tidak amanahnya pejabat tersebut melakukan destruksi, minimnya pengetahuannya atas keahlian pejabat yang tidak sesuai bidangnya, mengemban di Jiwasraya.
Kurangnya pengawasan OJK dan kontrol publik menjadi penyebab utama masalah tersebut, harus dihentikan oleh Pemerintah dan mendapatkan rehabilitas mental para pejabat negara untuk kembali diberikan materi belajar bela negara.
Pengalaman kasus seperti BLBI, Bank Century, harusnya itu bisa dijadikan pelajaran berharga, agar tidak kembali berulang dimasa mendatang khususnya jangan sampai terjadi berulang pada baillout Penyertaan Modal Negara (PMN) yang bukan peruntukannya BUMN industri sektor perasuransian.
Dan hendaknya mampu dapat dihentikan sejak dini. Termasuk upaya pencegahannya dugaan mallpraktek, malladministrasi, termasuk kemungkinan potensi adanya dugaan korupsi uang milik konsumen polis Jiwasraya.
Jika Pemerintah niat hati untuk membenahi industri perasuransian Indonesia, hendaknya saat lahirnya UU Perasuransian itu, merupakan moment yang tepat, yang seharusnya sudah membangun LPP (Lembaga Penjamin Polis). Sebagaimana amanat dari UU Perasuransian dimaksud Nomor 40/2014 Pasal 53.
Besaran PMN (Penyertaan Modal Negara) itu, yang seharusnya negara hadir dan mampu diberikan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pendanaan sebagai bentuk akses permodalan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Hal ini justru dibelokan ke BUMN lain yang bukan peruntukannya perasuransian.
PT BPUI (Persero) diketahui sudah bermasalah jauh sebelumnya, yang mendapatkan amanat sebagai perusahaan BUMN core bisnis pada sektor pembiayaan UMKM pada saat itu.
Lantas apa alasan mendasar Pemerintah memberikan PMN tersebut, yang tidak pada peruntukannya industri perasuransian. Dan parahnya lagi PT BPUI (Persero) ditunjuk menjadi induk Holding BUMN perasuransian dan penjaminan.
Sudah saatnya ada keterbukan informasi publik atas masalah ini, dibutuhkan audit forensik atas Penunjukan Holding pada PT BPUI (Persero) tidak mengedepankan prinsip GCG,
Yang diketahui juga penuh nuansa politis tanpa dasar kajian yang jelas dan matang. Hal ini juga termasuk pendirian anak usaha barunya dibidang asuransi jiwa pada IFG Life.
Mari katakan tidak pada penindasan terhadap konsumen asuransi milik negara, dari upaya pembusukan dari dalam untuk mempailitkan secara paksa core bisnis Jiwasraya oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
Pada akhirnya justru akan menyesatkan para konsumen polis, menambah angka pengangguran baru, sehingga mengangkangi relugasi undang-undang perasuransian dan UUD 1945.
Stop penindasan konsumen polis asuransi, stop perampokan terhadap seluruh uang simpanan polis para pensiunan, terhadap seluruh konsumen Jiwasraya yang berkedok penyelamatan atas implementasi dari program Restrukturisasi Polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
(Red)
Penulis adalah Exs.Unit Manajer Jiwasraya Cabang Bekasi || Pemegang Polis Jiwasraya || Anggota PPWI || Email: latinse3@gmail.com