
Banjir adalah satu peristiwa alamiah saat daratan yang biasanya kering tergenang air dalam jumlah besar, disebabkan oleh luapan sungai, danau, atau laut akibat curah hujan tinggi, sampah penyumbat, atau jebolnya tanggul, yang dapat terjadi tiba-tiba (banjir bandang) atau perlahan (banjir air biasa) dan menyebabkan hanyut, kerusakan parah pada infrastruktur serta kehidupan.
Redaksi satu – Setiap musim hujan tiba, satu pemandangan yang selalu mengundang tanya muncul di berbagai daerah yang dilanda banjir.
Tumpukan batang kayu raksasa hanyut mengikuti arus. Bukan kayu kecil, bukan ranting, tapi batang-batang besar yang jelas mustahil ditebang oleh rakyat kecil dengan alat seadanya.
Pertanyaannya sangat sederhana, namun selama puluhan tahun tak pernah benar-benar dijawab: itu kayu siapa?
Rakyat kecil jelas bukan pemiliknya. Petani di lereng bukit masih sibuk menjaga lahan sempit agar tidak longsor.
Warga desa di hilir bahkan tidak punya akses masuk ke kawasan hutan produksi. Apalagi nelayan—mereka hanya mengenal laut, bukan bukit dan gergaji mesin berdaya besar.
Namun setiap terjadi banjir bandang, bukti pembabatan hutan justru melintas di depan mata: batang-batang kayu besar, bekas potongan rapi, seolah bersaksi tanpa kata bahwa hutan di hulu tidak lagi utuh. Dan yang lebih menyedihkan, tidak pernah jelas siapa yang bertanggung jawab.
Pemerintah biasanya menyampaikan bahwa banjir terjadi karena curah hujan yang tinggi, sedimentasi sungai, atau perilaku masyarakat yang tinggal di bantaran.
Semua itu memang faktor. Tapi ada satu faktor terbesar yang sering kali disamarkan di balik kalimat-kalimat teknis: hilangnya hutan penahan air di daerah hulu.
Hutan Direbut, Rakyat Menanggung
Dulu—sebelum negeri ini merdeka—rakyat kecil ikut mempertahankan hutan, laut, dan tanahnya dari penjajah. Tetapi setelah merdeka, ironinya, banyak kawasan hutan justru berubah menjadi rebutan: konsesi besar, perluasan perkebunan, hingga proyek perumahan dan industri.
Sementara itu, masyarakat biasa hanya bisa melihat dari jauh bagaimana bukit-bukit yang dulu hijau perlahan berubah gundul. Dan ketika hujan besar turun, bukannya kayu-kayu itu berhenti di tempatnya, malah ikut turun bersama air, memporak-porandakan rumah rakyat.
Pembangunan Perumahan di Kawasan Penggabungan
Di banyak daerah, termasuk yang terlihat dari seberang jalan tol, pembukaan lahan untuk perumahan semakin massif. Bukit dikikis, hutan diganti beton, tanah dikeruk tanpa menyisakan ruang resapan. Di atas kertas mungkin disebut pengembangan kawasan. Tapi bagi warga di hilir, itu sama saja dengan mengundang banjir.
Dan ketika banjir terjadi, masyarakat hanya bisa bertanya: siapa pemilik kayu-kayu yang hanyut itu? Kayu yang jelas tidak tumbang sendiri, tidak menggelinding sendiri, dan tidak hanyut tanpa campur tangan manusia.
Rakyat Kembali Jadi Korban
Setiap tahun, cerita yang sama terulang: Rumah rusak, sawah tertimbun, jembatan putus, dan ekonomi warga lumpuh. Namun jawaban resmi tetap tidak berubah: “Sedang kita telusuri.”
Entah mengapa, di negeri yang punya begitu banyak lembaga, begitu banyak izin, begitu banyak aturan, pemilik kayu yang hanyut terbawa banjir selalu saja tidak diketahui.
Yang diketahui hanya satu: Rakyat kecil lagi, rakyat kecil lagi yang jadi korban. Saatnya Berhenti Menutup Mata, Jika banjir disebabkan cuaca, itu tak bisa kita hindari, Jika disebabkan ulah manusia, itu bisa dicegah.
Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mengakui sumber masalah, bukan menyalahkan korban. Hutan bukan sekadar deretan pohon—ia adalah penahan air, pelindung kampung, dan penopang kehidupan.
Selama pembabatan hutan dibiarkan dan pembukaan lahan tak terkendali terus berjalan, maka setiap batang kayu hanyut saat banjir akan terus berbicara, lebih jujur daripada banyak laporan resmi.
Dan rakyat akan terus bertanya, sekali lagi: itu kayu siapa? (MSar/Redaksi satu)
DISCLAMER:
Tulisan ini adalah opini penulis yang disampaikan sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan nasib rakyat kecil. Tidak ditujukan untuk menyerang pihak atau individu tertentu. Segala analisis bersifat umum dan berdasarkan fenomena yang kerap terjadi di berbagai daerah.



