Pasaman Barat | Redaksi Satu – Jangan bicara VERIFIKASI dan KOMPETENSI bila belum adanya komitmen untuk peningkatan kesejahteraan Wartawan.
Kini bila kita berbicara VERIFIKASI dan kompetensi wartawan, ibarat hanya membahas segelintir organisasi profesi yang memburu bisnis kepentingan dengan ketebelece dari pemerintah saja layaknya
Tidak dapat pula kita pungkiri, kini sebahagian besar Media dan Wartawan, juga memanfaatkan agar segintir organisasi profesi, yang katanya terdaftar dan diakui itu bisa mengatur dan mengelabui para wartawan dengan selimut kompetensi.
Tidak rahasia umum lagi, seharusnya Dewan Pers bukan tempat tumpuan keputusan akhir penilaian terhadap setiap permasalahan media yang muncul.
Dewan Pers, dalam menjalankan fungsinya hendaknya membuka akses mediator dan fasilitator, bukan melaksanakan eksekutor, apa lagi sampai memecah persatuan Wartawan maupun organisasi pers dengan ketebelece, (Terdaftar dan tak terdaftar, diakui dan tak diakui atau lolos kompetensi atau tak lulus kompetensi)
Seperti yang disampaikan Heintje Mandagi / Ketua Dewan Pers Indonesia dalam tulisannya Kuburan “Roh” Kemerdekaan Pers di Tengah Uji Materi UU.
Di mana menurutnya,oganisasi pers sebagai wadah tempat wartawan bernaung pun tidak pernah menyelesaikan perkara pers menggunakan tahapan sidang majelis kode etik dan pemberian sanksi. Peraturan Dewan Pers tentang Kode Etik Jurnalistik menjadi tidak berlaku atau tidak berguna tanpa implementasi karena semua terpusat di Dewan Pers. Padahal yang paling paham tentang anggota wartawan pastinya adalah pimpinan organisasi pers,”
(Sertifikasi dan Kompetensi hanya kepentingan segelintir organisasi profesi tertentu untuk berburu bisnis dan dimanfaatkan oleh oknum pemerintah agar media atau wartawan tidak sembarang membuat sensasi berita, walau berita itu fakta tapi akan membahayakan posisi kekuasaan mereka, maka pemerintah yang di dukung oleh segelintir organisasi profesi pemburu bisnis kepentingan tadi akan dengan mudah menyerang media atau wartawan tersebut, dengan istilah konspirasi mereka, bahwa media itu abal-abal karena belum disertifikasi dan wartawannya kacangan, karena belum di uji kompetensi oleh Dewan Pers.)
Semua itu terjadi, karena selama ini ada konspirasi berdasarkan kesepakatan nafsu kepentingan timbal balik dari Oknum pemerintah dan Dewan Pers yang berkuasa dengan segelintir organisasi pemburu bisnis nafsu kepentingannya, yakni mencap dan mengatakan media dan wartawan yang tidak memiliki sertifikasi dan kompetensi keberadaan nya tidak layak, makanya semua produk yang dihasilkan nya adalah HOAX.
Hal itu sesuai dari hasil konspirasi atau anjuran dari buah nafsu karya segelintir organisasi profesi dengan oknum pemerintah maupun mavia media yang memanfaatkan Dewan Pers.
Mereka ciptakan melalui produk undang-undang yang katanya dari Dewan Pers, sementara nota benenya, Dewan Pers bukanlah esekutor atau yang berwenang membuat undang-undang, melainkan sebagai fasilitator dan mediator saja.
Akibatnya di tubuh dewan pers tersebut juga sudah berada kuku kekuasaan mereka, dengan dukungan dari balutan kepentingan timbal balik cengkraman campur tangan kekuasaan tadi.
Konspirasi segelintir organisasi dengan kekuasaan yang berbalut produk Dewan Pers tersebut, adalah momok bagi media dan wartawan yang melaksanakan profesinya dengan profesional, dan produk ini menjadi senjata pamungkas bagi pemburu nafsu bisnis untuk mematikan saingannya…
Itulah makanya mereka dengan mudah membunuh saingannya dengan menggunakan kata “hoax” bagi media/wartawan yang tidak tergabung di organisasi profesi nafsu bisnis ini.
Pemburu nafsu bisnis ini akan selalu berdalih, media anu belum di sertifikasi, wartawan anu belum lolos uji kompetensi, bla bla bla
Seharusnya kalau kita berbicara Sertifikasi dan Kompetensi, janganlah hanya berbicara legalitas dan kwalitas, tapi mari kita bahas juga secara tuntas, bagaimana melalui sertifikasi dan kompetensi ini akan berdampak positif pada hasil karya tulis yang di dukung dengan peningkatan kesejahteraan para wartawannya.
Bila semua media sudah mendapat tempat dan posisi yang sama di pemerintahan sesuai dengan porsinya, bukan karena sertifikasi akal-akalan, maka wartawan yang direkrutnya, dengan sendirinya akan terfilter dari kwalitas yang profesional dan memiliki kompetensi yang teruji.
Bukan hanya semata, hasil dari kompetensi bisnis akal-akalan yang ada selama ini, bila semua ini dilaksanakan dengan proporsional dan profesional maka soal media abal-abal dan wartawan kacangan akan terjawab dengan sendirinya.
Saat ini adakah jaminan kesejahteraan bagi media yang telah terVERIFIKASI, untuk mendapat porsi dan tempat yang sama dalam pengembangannya sebagai perusahaan bisnis media di semua ini.
Dan saat ini adakah jaminan bagi wartawan yang telah lolos uji kompetensi sesuai tingkatannya, untuk mendapatkan kesejahteraannya melalui jasanya yang setara dengan pendapatan pegawai atau aparatur sesuai golongannya pula…?
Bila komitmen itu sudah ada dan dirasakan oleh seluruh Insan Pers tanpa terkecuali sesuai dengan kompetensi resminya, maka perang melawan berita hoaks akan terjawab, sebab kesejahteraan wartawan tentu, sudah terjawab.
“Adakah Dewan Pers sebagai lembaga yang diakui negara memperjuangkan hak-hak wartawan untuk mendapatkan kesejahteraan dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya dari pemilik perusahaan pers ?” Ocehku.
(Zoelnasti)