REDAKSISATU.ID – Tambang Emas Ilegal atau Pertambang Emas Tanpa Izin (PETI) marak terjadi di aliran sungai Desa Nanga Boyan, Kecamatan Boyan Tanjung, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat.
Menurut keterangan Mantan Kepala Desa Bunut Hilir Andi Syamsu, akibat Tambang Ilegal itu, warga setempat yang menggantungkan hidupnya pada air sungai tersebut merasa kesulitan mendapatkan air bersih dan sulitnya mencari ikan karena kondisi air sungai keruh bercampur lumpur. Sedikitnya ada 4 (empat) Desa yang terdampak langsung dengan pencemaran limbah Tambang liar itu.
“Desa Nanga Boyan, Desa Teluk Geruguk, Desa Delintas Karya dan beberapa Desa Kecamatan Bunut Hilir diantaranya Desa Entibab,” ungkap Andi Syamsu kepada Wartawan, beberapa hari lalu.

Warga berharap, penambangan liar yang terjadi sejak kurang lebih tahun 2007 di aliran sungai daerah itu segera dihentikan oleh Pemerintah melalui instansi terkait untuk melakukan tindakan.
“Kami mengharapkan kepada DPR, atau kepada Pemda (Pemerintah Daerah) atau kepada Bupati sekalipun, untuk segera melihat dampak kerusakan lingkungan yang berdampak kepada kami Masyarakat Kecamatan Bunut Hilir,” tegas Mantan Kepala Desa itu.
Lebih khusus lagi, warga menekankan Dinas Lingkungan Hidup dan Kepolisian Kapuas Hulu untuk melakukan tindakan terhadap kejahatan Tambang Ilegal tersebut. Mantan Kepala Desa ini pun menilai, bahwa selama ini diduga kuat adanya pembiaran.

“Kalau kami liat daripada kejahatan PETI ini, ada semacam pembiaran dari pihak Penegak Hukum,” tandas Warga yang merasa terdampak itu.
Persoalan tersebut juga dibenarkan oleh beberapa warga Desa Ujung Pandang Kecamatan Bunut Hilir. Sukarna yang merupakan salah satu Nelayan dan menggantungkan hidupnya dengan air bersih dari sungai itu mengaku merasa sangat terdampak akibat Pertambangan liar yang terjadi selama ini.
“Selain sulit mendapatkan air bersih, sulit mendapatkan ikan, bahkan fakta di lapangan perubahan Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalami kedangkalan, perubahan alur aliran sungai. Kami sebetulnya sudah sangat malas, tapi kami masih memiliki harapan untuk sebuah perubahan,” ujar Sukarna.

Sementara itu, Kadiv Kajian dan Kampanye WALHI Kalimantan Barat juga menilai bahwa upaya Pemerintah melalui aparaturnya untuk melakukan penataan maupun penindakan terhadap praktik Pertambangan liar selama ini terkesan kurang serius karena bersifat reaktif dan sementara.
“Pemerintah dalam hal ini benar-benar hadir dan memperhatikan, memberikan keamanan, kenyamanan maupun perlindungan hak bagi keselamatan rakyat dan lingkungan hidup,” sindir Adam.
Sebagai informasi, diketahui para pekerja Tambang liar di daerah tersebut merupakan milik beberapa pemodal besar. Bagaimana mungkin dilakukan oleh warga biasa kalau alasannya hanya untuk cari makan, bisa dibayangkan untuk satu set Lanting dan mesin Fuso saja harus membutuhkan uang kurang lebih sebesar Rp200 juta rupiah.
Tambang liar yang terjadi di daerah itu, disebut-sebut juga dipasilitasi dan diakomodir oleh pemodal besar Warga Kecamatan Boyan Tanjung berinisial JP dan BDN. Bahkan keduanya disebut-sebut memiliki SPBU yang dikendalikan oleh Oknum untuk mengatur kebutuhan distribusi logistik minyak solar subsidi kepada para penambang ilegal.
JP dan BDN pun sebelumnya diketahui sudah pernah berurusan dengan pihak Kepolisian, baik terkait dugaan Tambang Ilegal maupun terkait dugaan masalah penyimpangan minyak subsidi jenis solar yang digunakan untuk mesin Fuso.
PART 1
Editor: Adrianus Susanto318