Isu penundaan Pemilu sepertinya sengaja didesain, berbagai manuver dan cara dilakukan untuk merealisasi ide paling “gila” yang pernah ada dalam negara demokrasi ini.
Berbagai saluran digunakan untuk menggolkan ide, mulai kapitalisasi narasi dan isu melalui media, menggunakan cara-cara politik, dan terakhir melalui cara hukum lewat proses peradilan.
Sebagai analis yang berlatar belakang akademisi saya tidak mau terjebak dalam prasangka dan gimmick politik, namun saya ingin mencoba memberikan analisis yang berbasis ilmiah dg segala rasionalisasinya.
Terkadang nalar dan logika berhukum dan berkonstitusi kita sedikit terganggu dengan ide dan gagasan soal penundaan Pemilu, karena tidak memiliki dasar argumentasi yuridis sedikit pun.
Saya juga mengamati elit bangsa ini sepertinya terkena gejala a historis dan “insubordinasi” berkonstitusi (meminjam istilah dunia militer) atau memang sengaja gagasan ini dilontarkan untuk mengukur sejauh mana mendapat legitimasi rakyat.
Konstitusi itu dibuat sebagai norma dasar tertinggi untuk mengatur proses penyelenggaraan negara (termasuk didalamnya mengatur soal sirkulasi elit melalui Pemilu) dan pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara.
Dalam konteks negara demokrasi, dikenal istilah judisialisasi politik (judicialization of politics) atau juridification of politics.
Dalam judisialisasi politik menundukkan proses pergantian kepemimpinan negara pada konstitusi dan ketentuan perundang-undangan berlaku.
Untuk itu beberapa konsep dasar judicialization of politics, pertama rule of law, semua termasuk negara dan pemerintah ada di bawah serta tunduk pada hukum atau disebut under and subject to the law.
Kedua constitutionalism, sistem kekuasaan yang terbatas atau dibatasi limited government.
Ketiga checks and balances, berkaitan erat dengan konsep atau ajaran pemisahan kekuasaan separation of powers.
Dan keempat ajaran hak asasi manusia, untuk menghentikan tindakan onrechtmatig overheidsdaad penguasa yang melanggar hak-hak warga negara.
Sebagai sebuah ide dan gagasan, di negara demokrasi tidak ada larangan bagi siapa pun untuk menyatakan pendapat dan pikirannya, termasuk soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Namun persoalannya, ide dan gagasan tersebut akan membawa implikasi yuridis dan politis, jika diwujudkan karena pasti akan berbenturan dengan konstitusi dan UU.
Soalnya, dalam konstitusi sudah given dan final, ditegaskan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota legislatif, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Ketentuan yang sama juga dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bangsa ini harus dididik untuk taat asas dalam berkonstitusi, untuk tegaknya prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Pertanyaan terbesar berkaitan dengan gagasan penundaan Pemilu adalah lembaga apa yang berwenang untuk melakukannya, karena dalam konstitusi dan UU tidak diatur soal mekanisme dan tata cara penundaan Pemilu.
Lalu penundaan Pemilu pasti akan berimplikasi terhadap masa jabatan presiden/wakil presiden, kabinet, dan anggota DPR, MPR, dan DPD.
Lagi-lagi pertanyaan siapa yang berwenang memperpanjang masa jabatan mereka ini, sedangkan dalam konstitusi dan UU masalah tersebut sama sekali tidak diatur.
Yang paling memungkin adalah amandemen konstitusi dan membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal diatas, jika iya apakah tidak terlalu mahal cost yang harus dibayar.
Soalnya, pasti menimbulkan ketidakstabilan politik yang mengancam terjadinya konflik politik dan sosial. Untuk itu sekali mari kita dewasa bernegara dan taat konstitusi.
Apalagi KPU sendiri sebagai lembaga yang diberikan mandat konstitusi dan UU untuk menyelenggarakan Pemilu telah menetapkan hari dan tanggal Pemilu serentak pada tahun 2024 yang akan datang.
Ini artinya, alarm bagi kita semua bahwa seharusnya keinginan, ide, dan gagasan yang ingin menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden sudah tidak relevan lagi dibicarakan.
Ide dan gagasan soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, sebenarnya ada pesan positif yang harus menjadi pelajaran bagi bangsa ini.
Apa itu ? Hal ini mengingatkan kita semua bahwa masih ada berbagai persoalan besar yang tersisa dari proses amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan.
Yakni, bahwa kita lupa melakukan pengaturan dalam konstitusi jika terjadi kevakuman akibat kondisi darurat sehingga harus menunda Pemilu dan atau perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD.
Akibatnya, jika kondisi darurat itu terjadi kita tidak punya dasar konstitusional dan yuridis untuk melakukan langkah antisipasi. Terima kasih, semoga mencerahkan. Yakusa. **
**Oleh : Elfahmi Lubis