Redaksisatu.id – Sidang Paripurna DPR RI, menunda pengesahan revisi undang-undang pemilu, di komplek gedung Senayan (22/8/24).
Penundaan Sidang Paripurna di DPR RI diwarnai aksi, demonstran dari ribuan lapisan masyarakat, hingga artis komedian Emon diluar gedung Senayan Gatot Subroto Jakarta.
Pada hari Kamis, menyusul aksi protes atas undang-undang, yang disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini yang menjadi pemicu penundaan Sidang Paripurna, dan disinyalir dianggap memperkuat pengaruh politik dari Presiden Joko Widodo yang akan berakhir.
DPR RI berencana meratifikasi perubahan pada Kamis pagi, yang akan membatalkan putusan dari Mahkamah Konstitusi pada Minggu kemarin.
Perubahan Undang Undang tersebut akan menghalangi, kritikan pada pemerintah, dari DPR sebagai wakil rakyat.
Menjelang pemilu kepala daerah, pemilihan Gubernur Wakil Gubernur, Walikota, Wakil Walikota, Bupati, dan Wakil Bupati.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan, penundaan rapat paripurna disebabkan jumlah anggota DPR , tidak mencukupi Quorum.
Ia menambahkan, penundaan sidang paripurna ini Tidak jelas berapa lama sidang pleno akan ditunda, atau apakah akan dilaksanakan pada hari Kamis nanti.
Namun, perebutan kekuasaan antara parlemen dan lembaga yudikatif terjadi, di tengah perkembangan politik yang dramatis.
Selama seminggu di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan dimasa akhir masa jabatan Presiden.
Jokowi mengesampingkan kekhawatiran tersebut , dan mengatakan pada hari Rabu bahwa putusan pengadilan dan musyawarah parlemen merupakan bagian dari standar “checks and balances” Pemerintah.
Namun para ahli hukum dan analisa politik menggambarkan peristiwa tersebut, mendekati krisis konstitusional.
Analisa pemilu Titi Anggraini menilai manuver tersebut sebagai “pembangkangan konstitusional” yang berpotensi menimbulkan keresahan.
Manuver politik tersebut telah memicu gelombang kritikan, dengan poster biru yang menampilkan kata-kata “Peringatan Darurat” di atas burung Garuda lambang simbolis nasional Indonesia, dibagikan secara luas di media sosial.
Para demonstran berpakaian serba hitam berkumpul di luar gedung Senayan DPR di Jakarta pada hari Kamis, aksi demonstran yang lebih kecil di luar gedung pengadilan.
Dan juga di kota-kota seperti Surabaya dan Yogyakarta. Pihak berwenang mengatakan 3.000 polisi telah dikerahkan di Jakarta.
Pada hari Selasa, Mahkamah Konstitusi mencabut persyaratan ambang batas, minimum untuk mencalonkan kandidat dalam pemilihan daerah, dan mempertahankan batas usia minimum 30 tahun untuk kandidat.
Putusan itu secara efektif memblokir pencalonan putra presiden yang berusia 29 tahun, Kaesang Pangarep, untuk mengikuti pemilihan wakil gubernur di Jawa Tengah, dan akan memungkinkan Anies Baswedan, untuk mencalonkan diri di Jakarta.
Namun dalam waktu 24 jam parlemen telah mengajukan revisi darurat untuk membatalkan perubahan tersebut, yang diharapkan akan diratifikasi pada hari Kamis, kata legislator Luluk Hamidah.
Semua partai kecuali satu, Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P), telah menyetujui revisi undang-undang tersebut.
“Demokrasi Indonesia sekali lagi berada di persimpangan yang krusial,” tulis Anies di platform media sosial X, sambil mendesak para legislator untuk mengingat bahwa nasib demokrasi ada di tangan mereka.
DPR RI sekarang didominasi oleh koalisi besar yang berpihak pada Presiden, yang dikenal sebagai Jokowi, dan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Prabowo, yang menang telak dalam pemilu Februari lalu, akan dilantik pada 20 Oktober, dengan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil Presiden.
Jokowi menghadapi kritik yang terus meningkat atas cara-cara pemerintahnya yang semakin berani dalam mengonsolidasikan kekuasaan, dan atas penciptaan dinasti politiknya sendiri.
“Putusan Mahkamah Konstitusi itu final dan mengikat,” kata Bivitri Susanti, dari Fakultas Hukum Jentera,
“Tidak mungkin Badan Legislasi (Baleg) melanggar putusan pengadilan. Ini perebutan kekuasaan.” Ujarnya.
Pertama kali terpilih pada tahun 2014, Jokowi saat itu dipuji sebagai pahlawan demokrasi, sebagian besar karena ia dianggap tidak terikat oleh oligarki dan elite militer yang mengakar di negara ini.
Presiden dipuji karena catatan ekonominya yang solid tetapi semakin, dikritik karena kemerosotan demokrasi lembaga-lembaga negara selama dekade masa jabatannya. Disinyalir dari Reuters – Saidi.