
redaksisatu.id – Filosofi Sendal Jepit dan Realitas Manusia Modern, Ternyata hanya sendal jepit yang setia menemani jalan bareng.Bagaimana dengan kita?
Sendal jepit Sudah putus pun kadang masih bisa diajak jalan lagi. Ironisnya, justru manusia—yang dianggap makhluk paling sempurna—sering kali sulit diajak jalan bersama.
Kalimat sederhana ini mencerminkan fenomena sosial di masyarakat: kebersamaan makin tipis, ego makin tebal, sementara solidaritas hanya jadi slogan.
Artikel ini membahas makna filosofi tentang “sendal” sebagai simbol kesetiaan, sekaligus kritik sosial terhadap perilaku manusia yang semakin individualistis.
Makna Sendal Jepit dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Simbol Kesetiaan yang Sederhana
Sendal jepit tidak pernah menuntut. Meskipun dipakai di jalan kasar, becek, atau panas, ia tetap menjalankan tugasnya: menemani pemiliknya melangkah.
Sebagai barang sederhana, justru menjadi metafora kuat tentang kesetiaan dan kebersamaan—dua hal penting yang semakin hilang dalam interaksi sosial manusia.
2. Meski Sudah Rusak tetap dipertahankan
Banyak orang memperbaiki sendal jepit yang putus—dipaku, disambung, atau diikat—karena ada nilai kebersamaan di dalamnya.
Justru di sini terlihat kontras: hubungan antarmanusia jauh lebih mudah rusak dibanding sendal jepit.
Mengapa Manusia Sulit Diajak Jalan Bersama?
1. Egoisme Meningkat di Era Modern
Di tengah kehidupan yang semakin cepat dan kompetitif, banyak orang hanya ingin berjalan bersama jika ada keuntungan untuk dirinya.
Perbedaan kecil—baik soal pendapat, pilihan politik, maupun urusan pribadi—bisa mengubah teman menjadi lawan.
2. Kebersamaan Mulai Dihitung Seperti Transaksi
Jika dulu gotong royong berjalan alami, sekarang semua seperti dihitung: Apa untungnya buat saya?, Saya dapat bagian apa?, Kalau tidak ada manfaatnya, buat apa ikut?
Padahal, kebersamaan tidak selalu membutuhkan balasan. Kebersamaan hanya membutuhkan niat berjalan bersama.
3. Solidaritas Goyah, Individualisme Menguat
Di pertemanan, banyak yang hadir saat senang tetapi hilang saat dibutuhkan.
Dalam dunia kerja dan politik, lebih parah lagi: Saat butuh suara, saling merangkul. Saat sudah mendapatkan kekuasaan, saling menjatuhkan.
Fenomena ini menunjukkan menurunnya kepekaan sosial dalam masyarakat. Kita ambil Pelajaran dari “Sendal Jepit” untuk Kehidupan Sosial
1. Kesetiaan Tidak Butuh Pengakuan
Sendal jepit tidak memamerkan kesetiaan, tetapi menunjukkan fungsi dan manfaatnya setiap hari.
2. Kebersamaan Tidak Harus Menguntungkan.
PKita bisa belajar bahwa berjalan bersama adalah nilai itu sendiri. Tidak selalu harus dihitung dengan untung-rugi.
3. Kesederhanaan Sering Lebih Tulus dari Kemewahan
Bentuk wujudnya sederhana tetapi tulus.
Manusia sering kali rumit dan penuh syarat. Maka cobalah Belajar dari Sendal, yang mengingatkan kita bahwa kebersamaan seharusnya tidak rumit.
Cobalah merenung Terkadang “kenyamanan” yang kita dapatkan tanpa kenal ta sadari hanya berasal dari sesuatu hal yang sangat sederhana. “sandal jepit” ini. Murah, ringan, dan nyaman dipakai.
Ujud barangnya sangat sederhana, terjangkau, dan tidak mewah. Ungkapan ini mengajarkan agar kita hidup sederhana dan tidak sombong, meskipun mungkin memiliki kedudukan atau harta.
Fungsionalitas dan Manfaat: Meskipun sederhana, sangat fungsional dan berguna untuk melindungi kaki dalam aktivitas sehari-hari. Hal ini bermakna bahwa harga diri seseorang dinilai dari manfaat dan kontribusinya kepada orang lain, bukan dari penampilan luarnya.
Siap “diinjak” (direndahkan) Orang Lain: Sandal jepit secara harfiah diinjak-injak setiap saat. Ini bisa diartikan sebagai kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi cobaan, hinaan, atau perlakuan tidak adil dari orang lain, tanpa harus membalasnya dengan kebencian.
Setia pada Pasangan/Tujuan: Sandal jepit selalu sepasang, kiri dan kanan, dan jarang terpisahkan (kecuali hilang atau putus). Ini melambangkan kesetiaan dalam hubungan, konsistensi dalam prinsip, atau fokus pada tujuan hidup.
Tangguh dalam Keterbatasan: Meskipun terbuat dari bahan yang terkadang dianggap remeh, sandal jepit seringkali sangat awet dan tangguh dalam berbagai kondisi medan. Ini mengajarkan tentang ketahanan mental dan kemampuan untuk bertahan dalam situasi sulit dengan sumber daya terbatas.
Sadarlah, sudah waktunya kita untuk menurunkan ego, kita meningkatkan empati, dan belajar berjalan bersama, sebab hidup ini terlalu berat jika dilalui sendirian. (MSar)



