
Relawan sejati adalah seseorang yang secara tulus iklas dan sukarela menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, serta keahliannya untuk membantu kesulitan orang lain dan dengan tujuan sosial tanpa pamprih, tidak mengharapkan imbalan materi, dengan hati yang lapang, fokus pada kemanusiaan, dan memiliki semangat kerja tim serta integritas tinggi untuk menciptakan perubahan positif.
Redaksi satu – Di setiap peristiwa bencana, selalu muncul dua wajah yang kerap disamakan: mereka yang bekerja di lapangan dan mereka yang tampil di pemberitaan. Keduanya sering disebut relawan. Padahal, jika ditarik ke makna paling dasar, keduanya tidak selalu berada pada posisi yang sama.
Bagi korban bencana, relawan bukan soal atribut, rompi, atau afiliasi. Tetapi adalah siapa pun yang hadir secara nyata dan ikut meringankan beban penderitaan.
Membatu Diukur dari Kehadiran, Bukan Klaim
Dalam kondisi darurat, korban tidak menanyakan siapa pendukung siapa. Yang mereka butuhkan sederhana: Makanan untuk hari ini, Air bersih, Obat-obatan, Tenaga untuk membersihkan puing dan lumpur
Penolong sejati biasanya tidak banyak bicara. Mereka datang lebih awal, bekerja dalam diam, dan pulang tanpa perlu pengakuan. Jejak mereka mungkin tak viral, tetapi manfaatnya dirasakan langsung oleh korban.
Masalah munculnya kata relawan tidak lagi dimaknai sebagai kerja kemanusiaan, melainkan sebagai identitas. Saat itu, orientasi mudah bergeser: dari korban ke citra, dari pengabdian ke narasi.
Fenomena ini sesungguhnya mudah dikenali dan sulit dibantah. Setiap kali pileg dan pilkada tiba, atribut relawan menjamur tanpa diminta. Rompi, spanduk, baliho, hingga stiker memenuhi ruang publik. Semua berlomba menunjukkan keberpihakan dan kedekatan dengan kekuasaan.
Namun ironi justru terlihat jelas ketika bencana datang. Di saat rakyat kehilangan rumah, sawah, bahkan anggota keluarga, atribut relawan yang dulu ramai mendadak sepi. Yang bekerja di lapangan sering kali bukan mereka yang gemar menyebut diri relawan, melainkan aparat, lembaga kemanusiaan, dan warga biasa yang bergerak karena rasa sesama.
Kontras ini bukan sekadar soal simbol, tetapi soal makna. Jika keberadaannya benar dipahami sebagai panggilan nurani, maka seharusnya kehadiran paling nyata justru muncul saat penderitaan rakyat memuncak, bukan hanya saat kontestasi politik berlangsung.
Karena itu publik wajar bersikap kritis. Bencana bukan panggung pencitraan, bukan pula ruang pembuktian loyalitas politik. Yang tidak hadir di lapangan, tidak bekerja bersama korban, patut berhenti mengklaim diri sebagai relawan.
Bencana Bukan Panggung
Setiap bantuan patut diapresiasi, siapa pun yang memberi. Namun, kejujuran juga penting. Dalam urusan kemanusiaan, kehadiran nyata lebih bermakna daripada pembelaan di ruang publik.
Penolong sejati tidak membutuhkan pembelaan berlebihan. Yang dibutuhkan korban adalah kerja nyata, bukan perdebatan.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyerang siapa pun. Ini adalah ajakan untuk mengembalikan makna relawan pada tempatnya: kerja sukarela, kehadiran nyata, dan keberpihakan pada korban.
Dalam bencana, ukuran orang yang iklas menolong sangat sederhana: apakah kehadirannya membuat penderitaan rakyat menjadi lebih ringan?…. Salam Nalar, Akal Waras. Merdeka…!!!



