Opini
Penulis: Saidi Hartono
Redaksi Satu – Bangsa Indonesia dikenal dengan kekayaan budaya dan peradaban yang khas, berakar dari sejarah panjang yang memuat ilmu pengetahuan dan kearifan lokal.
Dari zaman dahulu, masyarakat telah mampu menciptakan karya luar biasa, seperti musik tradisional gamelan yang dibuat dari logam, serta alat musik bambu seperti suling, angklung, dan kecapi.
Selain itu, ramuan obat tradisional yang diolah oleh tabib atau kyai di kampung, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan peradaban telah menjadi bagian hidup masyarakat yang kaya manfaat.
Negeri ini melimpah dengan kekayaan alam, mulai dari rempah-rempah hingga beragam tumbuhan obat, yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan berbagai generasi.
Namun, perkembangan zaman modern justru menenggelamkan nilai-nilai pengetahuan dan peradaban tersebut.
Bahkan, dalam era digital, orang-orang berpendidikan tinggi kadang justru terjebak dalam egoisme dan perilaku negatif di media sosial, sehingga mengikis bekal pendidikan yang semestinya membentuk generasi beradab dan berilmu.
Pendekatan pendidikan yang hanya berfokus pada nilai angka semata, tanpa manfaat nyata menjadikan generasi muda “hanya sebagai pekerja” dan bukan sebagai pelaku utama pembaruan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Situasi ini memperlihatkan betapa ilmu dan karya bangsa terabaikan, menjadi catatan sejarah yang belum tertata dengan baik.
Para ilmuwan dan peneliti sering terjebak dalam kajian personal, tanpa dampak nyata bagi masyarakat dan penguatan nilai lokal.
Kajian Kekayaan Alam yang Terlupakan
Contoh nyatanya adalah, keberadaan minyak tanah yang dulu sangat bermanfaat untuk kebutuhan memasak, penerangan, bahkan pengobatan tradisional.
Misalnya, para penebang pohon memanfaatkan minyak tanah untuk mengusir serangga yang mengganggu, sebuah tradisi yang memiliki dasar ilmiah dan manfaat kesehatan.
Namun, sejak program konversi energi tahun 2007 yang menggantikan minyak tanah dengan LPG, manfaat ini hilang tanpa pengganti yang sepadan.
Walaupun program ini bertujuan mengurangi subsidi yang membebani negara, pengalihan tersebut justru mengerdilkan potensi kekayaan alam yang sebenarnya melimpah.
Hal ini menjadi refleksi kerugian yang tak hanya pada keuangan negara, tetapi juga pada peradaban dan kesejahteraan masyarakat kecil.
Alam menyaksikan betapa keputusan demi kepentingan pribadi mengorbankan, nilai dan manfaat kekayaan alam bangsa.Krisis
Penghormatan dan Kepemimpinan Bijak
Mengapa anak muda kini kurang menghormati yang lebih tua? Jawabannya sederhana: ketiadaan pemimpin bijak yang menghayati dan mengamalkan nilai perjuangan leluhur.
Pemimpin bijak adalah mereka yang menganut prinsip M5 — Melestarikan, Menjaga, Merawat, Membina, dan Melindungi — sebagai wujud menjaga kearifan lokal dari Sabang hingga Merauke.
Penghormatan kepada alam dan budaya leluhur akan membangun, negeri yang makmur dan lestari tanpa tergantung pada pihak luar.
Sebaliknya, ketika nilai tersebut diabaikan, alam dan bangsa merasakan akibatnya berupa bencana sosial, kriminalitas, dan ketimpangan yang terus memburuk.
Menuju Kebangkitan Peradaban dan Budaya
Kajian ilmiah yang terstruktur, dan berpihak pada peradaban serta kearifan lokal perlu menjadi fokus utama pendidikan tinggi.
Ini saatnya membangkitkan kembali kejayaan budaya dan ilmu pengetahuan berbasis kearifan lokal untuk membangun pemahaman kolektif yang solid.
Kebangkitan ini bukan hanya sebuah impian, melainkan tanggung jawab bersama agar tidak terlambat merevitalisasi peradaban sebagai simbol kemakmuran dan jati diri bangsa Indonesia. (**Dikisahkan oleh Jack**).



