
Redaksi satu – Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, muncul satu pertanyaan sederhana dari rakyat biasa: “Mengapa ketika muncul isu dugaan ijazah palsu, hampir semua partai politik memilih diam?”
“Diam,” Ini fakta, rakyat melihat dan membaca, tidak ada sikap tegas, tidak ada dorongan untuk membuka terang, bahkan empati pun nyaris tak terdengar.
Diam ini terasa ganjil, sekaligus menyakitkan. Bukan semata soal selembar ijazah, melainkan soal rasa keadilan publik.
Rakyat diajari sejak kecil bahwa kejujuran adalah fondasi hidup. Namun ketika dugaan ketidakjujuran muncul di level elite, justru disambut dengan kebisuan kolektif.
Partai politik kerap berdalih menunggu proses hukum. Alasan ini terdengar aman dan normatif. Namun publik tahu, politik bukan hanya soal hukum, tapi juga etika dan tanggung jawab moral.
Jika partai adalah pilar demokrasi, seharusnya mereka berdiri paling depan menjaga integritas, bukan bersembunyi di balik prosedur.
Sikap tidak mau tahu juga menimbulkan kesan bahwa kepentingan elite jauh lebih penting daripada kegelisahan rakyat akar rumput.
Padahal rakyat tidak menuntut vonis, tidak pula menghakimi. Yang diminta sederhana: kejelasan dan empati. Kejelasan agar demokrasi tidak dibangun di atas keraguan, empati agar rakyat merasa dihargai.
Ironisnya, partai-partai besar yang lantang bicara soal kejujuran Soal moral, pada saat kampanye selalu rakyat dan rakat yang disebut-sebut, tapi justru membisu ketika menyentuh soal isu ijasah, rakyat dan moral itu diuji.
Sementara itu, rakyat seperti diambang-ambingkan, disuguhi tontonan ang berkepanjangan soal isu ijazah yang tak pernah dituntaskan.
Lebih dari itu, publik mencatat satu fakta politik yang sulit dibantah: selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, partai-partai pengusung dan partai koalisi berada di lingkar kekuasaan yang sama.
Sepuluh tahun bersama dalam pemerintahan, sepuluh tahun menikmati stabilitas kekuasaan. Namun ketika muncul isu ijazah palsu yang menyentuh integritas kepemimpinan, hampir semuanya memilih “Diam” serempak.
Hari demi hari publik disuguhi tontonan politik yang membosankan: saling sindir tanpa ujung, bantah-membantah tanpa kejelasan, dan narasi berputar-putar yang menjauh dari substansi.
Bukan pencerahan yang didapat, melainkan kelelahan dan kejenuhan. Mungkin mereka lupa, kepercayaan publik tidak runtuh karena satu isu, tetapi karena diam yang terus dipelihara.
Jika dugaan itu tidak benar, bukankah lebih baik dibuka secara terang? Jika benar, bukankah lebih terhormat diselesaikan dengan jujur? Membisu hanya melahirkan kecurigaan, dan kecurigaan adalah racun bagi demokrasi.
Rakyat kecil paham satu hal: kejujuran memang tidak selalu menguntungkan secara politik, tetapi tanpanya, politik kehilangan makna. Partai politik boleh berhitung soal kursi dan koalisi, namun jangan lupa, di luar sana ada rakyat yang berharap pada keberanian moral, bukan sekadar kecerdikan strategi.
Pada akhirnya, membisu bukan sikap netral. Membisu adalah pilihan. Dan dalam isu yang menyentuh integritas, membisu berarti membiarkan luka keadilan tetap terbuka.
Di titik inilah, sebagian rakyat teringat penggalan syair lagu lama: “Mau dibawa ke mana…” Sebuah ungkapan sederhana tentang kebingungan arah.
Rakyat tidak meminta drama berkepanjangan. Rakyat hanya berharap isu ijazah ini segera diakhiri secara terang dan bermartabat.
Kepada para politikus, para pintar, para hebat yang mengelola negeri: tunjukkanlah kepada rakyat bahwa kekuasaan bukan sekadar soal bertahan dan berhitung.
Tunjukkan bahwa rakyat adalah tujuan utama, yang harus dijaga martabatnya dan diperjuangkan kesejahteraannya. Sebab tanpa kejujuran dan empati, politik hanya akan menjadi tontonan yang melelahkan, bukan harapan yang menguatkan.
Kepada semua pihak, baik yang pro maupun yang kontra, mari sejenak diresapi dalam-dalam. Orang-orang yang menyandang titel, gelar, dan sebutan “orang hebat”, justru tampil di layar seperti bertengkar untuk menjadi tontonan.
Perdebatan keras tanpa arah dipertontonkan setiap hari. Di titik ini, publik, rakyat ajar rumput wajar bertanya: “Apakah tidak ada rasa malu?”
Malu kepada rakyat yang menonton dengan letih. Malu kepada akal sehat yang seharusnya dijunjung. Malu kepada tanggung jawab moral sebagai pemimpin dan cendekia.
Perbedaan pendapat adalah keniscayaan demokrasi, tetapi menjadikannya panggung ego hanya akan menjauhkan politik dari martabatnya.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini publik yang disampaikan sebagai bentuk keprihatinan dan refleksi demokratis.
Seluruh pandangan di dalamnya tidak dimaksudkan untuk menuduh, menghakimi, atau menyimpulkan kesalahan hukum pihak mana pun.
Penulisan ini tidak mewakili institusi tertentu dan semata-mata bertujuan mendorong etika politik, kejernihan berpikir, serta empati terhadap kepentingan rakyat.
Pembaca diharapkan menyikapi tulisan ini secara dewasa, kritis, dan proporsional, sesuai prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin dalam negara demokratis.



