
Keadilan adalah kondisi di mana setiap orang diperlakukan secara setara, tidak memihak, dan mendapatkan haknya sesuai dengan kewajiban atau proporsinya, berdasarkan kebenaran dan hukum yang berlaku, serta tanpa diskriminasi atau kesewenang-wenangan. Konsep ini bersifat moral dan etis, bertujuan untuk menciptakan keseimbangan, kebaikan, dan keharmonisan dalam masyarakat.
Redaksi satu – Keputusan Jaksa Penuntut Umum Kejari Situbondo menurunkan tuntutan terhadap kakek Masri—dari dua tahun penjara menjadi enam bulan—bukan sekadar perubahan angka belaka dalam berkas perkara.
Menurut pandangan publik, ini adalah salah satu bukti nyata untuk mematahkan kalimat yang sering terdengar bahwa “Hukum Tajam Ke bawah Tumpul Ke atas” Dan untuk menjawab keraguan tentang rasa keadilan kegelisahan publik tentang wajah keadilan hukum di negeri ini.
Sejak awal di persidangan kasus kakek Masri yang mengambil lima ekor burung cendet di kawasan Taman Nasional Baluran memang telah menggugah empati masyarakat luas.
Bukan karena serta merta publik membenarkan perusakan kawasan konservasi, tetapi karena rasa keadilan sosial yang menyentuh rakyat miskin terasa terusik.
Seorang kakek renta, dengan latar ekonomi sederhana, dihadapkan pada ancaman hukuman berat, sementara di luar sana pelanggaran hukum berskala besar kerap berjalan lambat, bahkan menguap.
Reaksi masyarakat menunjukkan satu pesan jelas: hukum tidak boleh kehilangan nurani. Penegakan aturan memang penting, termasuk perlindungan satwa dan kawasan konservasi.
Namun hukum yang hanya berdiri di atas teks undang-undang, tanpa mempertimbangkan konteks kemanusiaan, akan terasa dingin dan jauh dari rasa keadilan rakyat.
Penurunan tuntutan menjadi enam bulan dipandang publik sebagai langkah yang lebih manusiawi, meski masih menyisakan pertanyaan: apakah penjara benar-benar solusi terbaik untuk kasus seperti ini?
Banyak suara publik justru berharap pendekatan keadilan restoratif, pembinaan, atau sanksi sosial-edukatif lebih dikedepankan dibanding pemidanaan.
Kasus ini membuka diskusi yang lebih luas: apakah hukum kita lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Ketika pelanggaran kecil oleh warga miskin diproses cepat dan keras.
Sementara kejahatan besar dengan dampak luas sering berakhir tanpa kepastian, maka wajar jika kepercayaan publik pada hukum terus tergerus.
Kakek Masri mungkin hanya salah satu nama, diantara banyak peristiwa, tetapi ia mewakili banyak wajah rakyat kecil yang berhadapan dengan sistem hukum.
Jadi perubahan putusan hukuman yang menimpa Kakek Masri, adalah salah satu bentuk jawaban dari APH, yang terkait istilah hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.
Kasus Kakek Masri juga untuk menjawab perkara-perkara hukum yang menyentuh dimensi kemanusiaan yang sering kali mengundang perhatian publik.
Bukan untuk menghakimi proses hukum, melainkan sebagai bagian dari refleksi bersama tentang bagaimana hukum dijalankan di tengah realitas sosial yang beragam.
Kasus yang menimpa kakek Masri di Situbondo, yang mengambil lima ekor burung cendet di kawasan Taman Nasional Baluran, menjadi salah satu contoh perkara yang memicu diskusi luas.
Perubahan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari dua tahun penjara menjadi enam bulan menunjukkan bahwa proses hukum berjalan dinamis, melalui pertimbangan yang tidak semata-mata normatif, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek tertentu yang melekat pada terdakwa.
Respons masyarakat terhadap kasus ini memperlihatkan tingginya sensitivitas publik terhadap rasa keadilan. Banyak pihak menaruh simpati pada kondisi terdakwa yang telah lanjut usia dan berasal dari latar belakang sederhana.
Di sisi lain, publik juga menyadari bahwa kawasan konservasi dan satwa liar memang harus dilindungi demi kelestarian lingkungan dan kepentingan bersama.
Di sinilah muncul harapan akan keadilan yang berimbang—keadilan yang tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga mempertimbangkan konteks kemanusiaan.
Penegakan hukum yang tegas tetap diperlukan, namun pendekatan yang lebih proporsional, termasuk pembinaan dan edukasi, sering kali dinilai lebih tepat untuk kasus-kasus yang tidak melibatkan kejahatan terorganisir atau eksploitasi besar-besaran.
Perhatian publik terhadap perkara ini juga mencerminkan harapan yang lebih luas agar hukum hadir sebagai instrumen perlindungan, bukan semata-mata penghukuman.
Ketika hukum dijalankan dengan mempertimbangkan nilai kemanusiaan, kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum justru akan semakin menguat.
Kasus kakek Masri memberi pelajaran bahwa kekuatan hukum tidak diukur dari kerasnya hukuman, melainkan dari kemampuannya menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan rasa keadilan sosial.
Dari keseimbangan itulah, hukum dapat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat secara terang benderang dan nyata adanya.
Dari kasus ini, masyarakat belajar bahwa keadilan sejati bukan hanya soal pasal dan ancaman hukuman, melainkan keberanian aparat untuk menyeimbangkan hukum dengan rasa kemanusiaan.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini Redaksi yang disusun berdasarkan informasi yang tersedia di ruang publik dan respons masyarakat. Opini ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi pihak mana pun, tidak mencampuri proses peradilan yang sedang berjalan, serta tidak mewakili sikap institusi atau lembaga tertentu. Penulis menghormati kewenangan aparat penegak hukum dan independensi pengadilan dalam menegakkan hukum sesuai ketentuan yang berlaku.



