
Redaksisatu.id — Polemik keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi sorotan publik. Namun alih-alih mendekatkan masyarakat pada kebenaran, proses hukum yang berjalan justru menghadirkan sebuah anti-klimaks: formalitas prosedural tanpa jawaban substansial.
Kasus isu ijasah Jokowi ini menegaskan bagaimana hukum sering kali gagal bekerja ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Awal Kasus: Unggahan, Penelitian, dan Laporan Hukum
Kasus bermula dari unggahan Sandy di media sosial yang memamerkan dokumen ijazah Jokowi dan menyebutnya sebagai dokumen asli.
Unggahan ini kemudian ditelaah oleh Roy dkk melalui riset independen, mulai dari analisis kertas, tinta, format administrasi, hingga verifikasi langsung ke Universitas Gadjah Mada (UGM).
Hasil riset mereka menyimpulkan adanya dugaan ketidakautentikan dokumen. Sebagai warga negara, mereka melaporkan dugaan tersebut agar diuji melalui proses hukum — sebuah langkah yang justru menunjukkan penghormatan pada mekanisme negara.
Laporan Mandek, Laporan Balik Melaju Cepat
Laporan Roy dkk memang diterima Polda Metro Jaya, tetapi mandek tanpa perkembangan berarti. Di saat stagnasi itu, laporan balik dari Jokowi terhadap Roy dkk justru berjalan cepat dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Pergeseran prioritas penyidikan ini memunculkan pertanyaan publik: mengapa dugaan pemalsuan dokumen tidak diproses, tetapi dugaan pencemaran nama baik langsung dipacu?
Fenomena ini kembali menegaskan pola lama dalam penegakan hukum Indonesia: dengan istilah “Tajam ke bawah, Tumpul ke atas.”
Kejanggalan Pemeriksaan Ijazah:
Proses pemeriksaan ijazah pun memunculkan sejumlah kejanggalan: Ijazah yang diklaim asli dikembalikan kepada Jokowi, bukan disita sebagai barang bukti.
Justru dokumen UGM yang disita polisi. Relawan Jokowi mengaku telah melihat “ijazah asli” secara langsung dari Jokowi. Keterangan UGM bahwa dokumen mereka diserahkan karena diminta polisi.
Pada praktik pembuktian, barang bukti tidak boleh dikembalikan kepada pelapor karena menghilangkan chain of custody. Namun hal ini justru terjadi.
Roy dkk Jadi Tersangka, Substansi Tak Pernah Diselesaikan
Polisi kemudian menetapkan Roy dkk sebagai tersangka pencemaran nama baik, meski penyelidikan dugaan pemalsuan ijazah tak kunjung diselesaikan.
Dalam proses itu bahkan muncul temuan baru: BONA menemukan ijazah legalisir di KPU DKI dan KPU Pusat identik dengan dokumen yang diteliti Roy dkk. Advokat Andika di Solo juga mendapatkan dokumen serupa dari KPU.
Artinya, dokumen yang diragukan itulah yang digunakan Jokowi dari pencalonan Wali Kota hingga Presiden. Tidak ada dokumen berbeda yang bisa dijadikan rujukan sebagai “versi asli”.
Mengapa Dugaan Pemalsuan Dihentikan?
Polisi sejak awal memilih menerima satu dokumen sebagai “ijazah asli”. Keputusan ini otomatis menutup ruang pemeriksaan lebih jauh. Jika dokumen tersebut ternyata tidak sesuai, konsekuensinya fatal: mantan Presiden RI bisa tersangkut Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
Skenario politik seperti itu hampir tidak mungkin terjadi. Karena itu, penyidikan diarahkan ke jalur yang paling aman — memproses pelapor, bukan memproses dugaan pemalsuan.
Uji Kebenaran Tidak Pernah Dibuka
Dalam kasus dugaan pemalsuan, pemeriksaan seharusnya meliputi: audit administrasi akademik, penelusuran riwayat akademik, pemeriksaan arsip institusi secara menyeluruh, pengecekan konsistensi data lintas tahun.
Namun tidak satu pun dilakukan. Negara justru memilih penyelesaian minimal yang hanya memenuhi syarat formalitas.
Anti-Klimaks Penegakan Hukum
Jika kasus ini berakhir pada mediasi atau penghentian penyidikan, publik hanya mendapat formalitas damai. Kebenaran material—apakah ijazah itu benar-benar otentik—tidak pernah diuji secara terbuka.
Alhasil, pertanyaan publik tetap menggantung. Rasa penasaran masyarakat tidak dijawab oleh negara, dan kebenaran digantikan oleh stabilitas politik.
Penutup: Negara Gagal Menenangkan Warganya
Roy dkk bukan kriminal publik. Mereka hanya meminta klarifikasi atas dokumen seorang pejabat negara. Itu bukan penghinaan; itu hak warga negara dalam demokrasi.
Kegagalan negara menjawab pertanyaan tersebut bukan hanya kegagalan prosedural, tapi kegagalan moral. Lagi-lagi hukum tampil sebagai alat pengelolaan persepsi, bukan pencari kebenaran.
Selama pola ini bertahan, setiap kasus yang menyentuh kekuasaan akan berakhir anti-klimaks. Dan kebenaran tetap menjadi milik mereka yang berani mempertanyakannya—bukan mereka yang memiliki akses ke kekuasaan.(MSar).



