spot_img

Air Mata Honorer dan Bayang-bayang “PPPK Siluman”:

Ketika Pengabdian Panjang Tidak Berbanding Lurus dengan Pengangkatan

Redaksisatu.id | Padang Pariaman — Ratusan honorer berseragam rapi, sebagian mengenakan jilbab lusuh, berdiri berjejer di halaman Kantor Bupati Padang Pariaman, Kamis (31/7). Tangan mereka menggenggam map berisi dokumen pengabdian yang sudah bertahun-tahun disimpan rapi. Tapi hari itu, yang mereka bawa bukan sekadar tumpukan kertas—melainkan harapan lolos PPPK yang belum kunjung dijawab.

Sari Wahyuni, seorang perempuan paruh baya dengan suara lantang tapi mata yang menyiratkan lelah, berdiri di barisan depan. Ia adalah Koordinator Honorer R-4, kelompok tenaga honorer nonkategori yang sudah bekerja belasan tahun namun belum juga mendapatkan kejelasan status.

“Kami datang bukan untuk membuat gaduh. Kami hanya ingin keadilan,” ucapnya lirih tapi tegas. “Kami punya data—ada yang baru dua tahun bekerja, tiba-tiba lolos PPPK. Padahal kami yang sudah belasan tahun, tak juga dilirik.”

Dugaan “PPPK Siluman”: Ketika Proses Dinilai Tak Transparan

Sari menyebut, pihaknya mengantongi bukti terkait dugaan kecurangan dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2025. Yang mereka sebut sebagai “PPPK siluman” adalah mereka yang tidak masuk dalam sistem basis data honorer lama, namun dinyatakan lolos seleksi dengan cepat dan mulus.

“Banyak dari kami ini bekerja tanpa henti sejak 2002, tanpa status, tanpa jaminan. Tapi yang baru dua tahun sudah diangkat. Itu kan menyakitkan,” katanya lagi.

Tudingan ini menjadi sorotan tajam karena menyangkut kredibilitas proses seleksi PPPK, yang seharusnya berbasis merit dan prinsip keadilan sosial.

Dasar Hukum: Hak dan Keadilan dalam Seleksi PPPK

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), disebutkan bahwa Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah bagian dari ASN yang direkrut dengan sistem kontrak berdasarkan kebutuhan instansi.

BACA JUGA  Mayat Bayi Dalam Ransel Gegerkan Warga

Namun yang menjadi payung perlindungan honorer adalah Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, yang dalam Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa pengangkatan PPPK dilakukan melalui seleksi secara objektif, adil, kompetitif, dan transparan.

Lebih jauh, dalam PermenPANRB Nomor 20 Tahun 2022 disebutkan bahwa tenaga non-ASN yang sudah bekerja paling lambat per 31 Desember 2021 dan tercatat dalam database BKN memiliki prioritas dalam pengangkatan PPPK, khususnya bagi yang bekerja terus-menerus dan memenuhi syarat administratif.

“Artinya, secara hukum pun kami punya hak. Kami masuk dalam data base BKN dan mengabdi sebelum 2021. Tapi kenyataan di lapangan, yang belum lama bekerja justru diprioritaskan,” tegas Sari.

Aksi Damai yang Berulang, Tapi Jawaban Tak Kunjung Datang

Ini bukan aksi pertama mereka. Sebelumnya, kelompok honorer R-4 telah menjumpai Bupati, bahkan menggelar dengar pendapat (hearing) dengan DPRD Padang Pariaman. Namun, menurut pengakuan mereka, semua itu belum juga membuahkan keputusan konkret.

“Sudah sering kami sampaikan. Tapi tak satu pun ada keputusan. Kami hanya diminta bersabar, sabar, dan terus sabar. Sampai kapan?” ujar salah satu peserta aksi lain yang sudah 17 tahun bekerja di sekolah negeri sebagai tenaga kebersihan.

Human Interest: Pengabdian yang Tak Terbalas

Di tengah-tengah kerumunan, seorang perempuan berusia senja duduk lemas di kursi plastik. Namanya Bu Narti, 54 tahun, guru honorer di sebuah SD pinggiran sejak tahun 2003. Ia menatap kosong ke arah kantor bupati.

“Saya bahkan sudah tak berharap lagi diangkat, tapi tolong hargai kami. Kami ini nyata. Bukan bayangan. Bukan siluman,” katanya, pelan.

Cerita seperti Bu Narti bukan satu atau dua. Ribuan honorer di Padang Pariaman menyimpan kisah serupa. Tentang pengabdian yang seakan tak cukup berarti di tengah sistem yang mereka nilai tidak adil.

BACA JUGA  Dinas P3APPKB adakan Pelatihan Kewirausahaan Dari Dana Pokir Rusdy Nurman

Harapan Terakhir pada Keadilan

Mereka tak lagi meminta perlakuan istimewa. Yang mereka ingin hanyalah perlakuan adil sesuai ketentuan hukum. Bahwa siapa yang lebih dulu mengabdi, yang telah lama menanti dan membuktikan loyalitas, seharusnya juga mendapat kesempatan yang sama—bukan dikebiri oleh sistem yang longgar dan celah yang dimanfaatkan oknum.

Hingga berita ini diterbitkan, aksi masih berlangsung dengan tertib. Massa menyuarakan satu hal yang sama: keadilan. Bukan untuk dihargai lebih, tapi untuk tidak dilupakan.

“Negara tak akan kuat tanpa pengabdian kami. Tapi sampai hari ini, negara seolah lupa kami pernah ada,” tutup Sari dengan mata yang berkaca-kaca.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

spot_img