REDAKSI SATU – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melakukan release terkait hasil studi investigasi restorasi yang dilakukan bersama 7 (tujuh) Simpul Jaringan (SJ) Pantau Gambut di 7 (tujuh) Provinsi yang ada di Indonesia, Sabtu 3 Agustus 2024, pukul 15.20 WIB.
Berdasarkan hasil studi investigasi restorasi yang release oleh WALHI tersebut terdapat 7 (tujuh) Provinsi, yakni Pantau Gambut Sumatera Selatan (Sumsel), Papua, Kalimantan Barat (Kalbar), Jambi, Riau, Kalimantan Timur (Kaltim), dan Aceh.
Muhammad Hairul Sobri selaku Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Sumatera Selatan menyampaikan terkait dampak dari bencana kebakaran, deforestasi, dan degradasi lahan gambut berakibat pada pelepasan emisi gas rumah kaca, kabut asap, hilangnya keanekaragaman hayati, dan dampak sosial ekonomi rakyat.
“Tidak lepas atau faktor utamanya adalah dari kegiatan industri ekstraktif kebun hutan dan perkebunan sawit di Provinsi Sumatera Selatan. Karena dua industri ini menguasai lebih dari 70% kawasan gambut,” tandas Muhammad Hairul Sobri.
Menurut Muhammad Hairul, upaya untuk mencegah dan memulihkan lahan gambut seperti membentuk BRG masih belum maksimal selagi dua industri Ini masih diberi ruang dalam ekploitasi lahan gambut, termasuk penegakan hukum.
“Pemulihan lahan gambut untuk mencegah bencana ekologis tidak akan berhasil selagi negara masih berencana mengakomodir kepentingan dua industri ini untuk mengeksploitasi lahan gambut dalam satu kawasan atau landscape gambut (KHG),” sindirnya.
Sulfianto selaku Simpul Jaringan Pantau Gambut Papua menilai bahwa Restorasi gambut di Papua minim pemantauan. Karena hampir tidak ada lembaga pemerintah yang “tertarik” memantau isu ini, aktifitas restorasi juga tidak ada. padahal semua ekosistem gambut dalam wilayah izin perusahaan yang kita pantau terdegradasi.
Sedangkan untuk di wilayah Kalimantan Barat, Hendrikus Adam selaku Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalbar sekaligus Direktur WALHI Kalbar menyebut bahwa praktik ekonomi ekstraktif baik melalui usaha perkebunan sawit maupun perkebunan kayu pada ekosistem gambut melalui proses kanalisasi dapat dipastikan melahirkan kerusakan.
“Hal ini bukan saja berdampak pada persoalan ekologis dan memperparah krisis iklim, tetapi juga melahirkan persoalan sosial serius di masyarakat. Restorasi yang diharapkan dalam praktiknya di lapangan masih jauh dari harapan. Ketidakpatuhan pemilik konsesi lakukan pemulihan tidak dibarengi dengan upaya pihak terkait untuk mengambil langkah sesuai kewenangannya dengan pembiayaan dibebankan pada pemilik usaha. Namun saat dalam operasional pemilik usaha tidak mengindahkan peraturan, yang terjadi justru seperti tidak ada negara saja. Ini sungguh ironi, aneh bin Ajaib,” ujar WALHI Kalbar.
Ferry selaku Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi menilai adanya Restorasi Setengah Hati. Konsesi PT PDIW, PT PBP dan PT BGR merupakan bagian dari Kesatuan Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) Sungai Batanghari-Air Hitam Laut yang mempunyai fungsi penting untuk menjaga keseimbangan tata air, penyimpan cadangan karbon dan pelestarian keanekaragaman hayati. Lebih dari 70% merupakan Fungsi Ekosistem Gambut lindung.
“kalau upaya restorasi yang di lakukan dengan menjadikan lahan yang pernah terbakar ini menjadi HTI, itu justru akan rawan terbakar dan merusak fungsinya. Upaya Restorasinya Setengah Hati,” ungkap Ferry.
Menurut WALHI melalui Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi, seharusnya pemerintah tegas dalam melihat ini, bahwa fungsi lindung lebih penting untuk keberlanjutan, salah satu bagian dari ekosistem di sana yg harus dilindungai adalah masih banyak sebaran habitat harimau diwilayah tersebut dan mejadi bagian dari penyanggah taman nasional berbak dan Sembilang.
M. Ibrahim selaku Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau mengatakan, Restorasi gambut Riau hanya mengutamakan kuantitas bukan kualitas, buktinya sekat kanal rusak, sumur bor tidak berfungsi, revitalisasi ekonomi hanya mimpi dan revegetasi tak terjadi. Boleh dianggap bahwa implementasi pemulihan gambut itu belum maksimal karena gambut terus terdegradasi,kebakaran terus terjadi.
“Apa yang salah dalam restorasi gambut? Anggaran besar yang dikeluarkan negara tapi tak berdampak apa-apa terhadap ekosistem, baik itu ekonomi masyarakat maupun lingkungan, berbeda terbalik dari klaim keberhasilannya…!!,” tandas Ibrahim.
Ahmad Saini (Nugal Institut) selaku Pelaksana Riset Pantau Gambut di Kalimantan Timur mengungkap bahwa lokasi penelitian pada KHG Kaltim menunjukan bahwa ekosistem gambut mengalami degradasi secara signifikan sehingga perlu dilakukan pemulihan.
Ahmad Saini juga menerangkan bahwa Pemerintah provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur menyebutkan belum ada program pemulihan, restorasi maupun pembuatan infrastruktur pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan seperti sekat kanal, sumur bor dan area pembasahan lahan.
“Degradasi yang terjadi pada lokasi penelitian selain dari kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi setiap tahunnya sepanjang musim kemarau adalah pembukaan lahan dengan membakar, alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala luas dengan membangun kanal dan sekat kanal untuk pengeringan. Pembersihan lahan dengan alat berat menghilangkan tutupan pohon sebagai habitat satwa flora dan fauna,” terangnya.
Dia menjelaskan, pada KHG Kedang Rantau-Sabintulung dengan fungsi lindung gambut terdapat HGU perkebunan Kelapa Sawit PT Agrojaya Tirta Kencana di bawah Grup Kencana Agri Limited milik keluarga Maknawi yang juga memiliki bisnis di bidang energi terbarukan yakni Kencana Energy. Rantai pasok global dari perkebunan kelapa sawit Kencana Agri Limited melalui PT SKL kepada Wilmar Nabati Indonesia yang merupakan dari Wilmar Internasional dan pada tahun 2023 ditemukan memasok Third Party Mills kepada Kutai Refinery Nusantara Indonesia yang merupakan bagian dari Apical Group yang dimiliki oleh keluarga Sukanto Tanoto.
Menurut WALHI melalui Pelaksana Riset Pantau Gambut di Kalimantan Timur, Ekosistem gambut menjadi sumber kehidupan berbagai komunitas secara lintas generasi. Dengan berbagai tradisi dan kearifan lokalnya yang selama ini menggantungkan hidupnya dari keberadaan ekosistem gambut dengan fungsi ekologi, hidrologi maupun ekonominya. Tradisi dan pengetahuan akan ekosistem gambut adalah bagian tidak terpisahkan termasuk bersama keanekaragaman hayati di dalamnya, seperti Pesut Mahakam spesies endemik yang terancam punah biasanya dapat ditemukan setiap tahun di Sungai Kedang Rantau kini dalam tiga tahun terakhir tidak lagi muncul. Hewan ini oleh masyarakat mahakam tengah dikenal sebagai salah satu penanda ramalan cuaca dan iklim lokal.
“Jika pesut ditemukan berenang dari hilir ke hulu sungai maka musim banjir atau air besar akan tiba dan nelayan mulai mempersiapkan alat tangkap ikannya. Sedangkan jika Pesut ditemukan berenang dari hulu ke hilir sungai maka air akan surut,” terangnya.
Mamalia pesut ini juga sangat mengandalkan sumber makanannya bersumber dari lahan gambut yang memiliki cadangan ikan air tawar. Desa-desa penghasil ikan air tawar atau ikan sungai seperti Desa Sedulang, Desa Tunjungan, Desa Liang Buaya ini merupakan jantung dari produksi ikan sungai di Kecamatan Muara kaman, satu dari lima penghasil utama ikan air tawar terbesar di Kutai kartanegara yang menghasilkan hingga 200 ribu ton dan juga memasok 60 persen dari kebutuhan ikan di Kaltim yang mengandalkan dua KHG ini.
M. Nasir selaku Simpul Jaringan Pantau Gambut Aceh sekaligus WALHI Aceh menekankan bahwa menjaga gambut menjaga kehidupan, karena gambut merupakan rumah bagi air, ketika rumah di rusak maka air akan hilang, yang tersisa hanyalah bencana ekologis.
Editor: Adrianus Susanto318