Tangerang Selatan, Redaksi Satu – Penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP) tentunya berdasarkan, alamat domisili yang telah diterbitkan oleh Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Disdukcapil).
Namun menyangkut persoalan terkait gugatan perceraian melalui sidang Pengadilan Agama, menjadi pertanyaan mendasar.
Ketika seorang artis Andre Taulany menjalani sidang perceraian, melalui pengadilan Agama beberapa bulan lalu.
Menurut Achmad Fauzi kuasa hukum Andreas Taulany (Andre) menyampaikan, kepada media redaksisatu.id ,pada pukul 22: 00 Rabu (22/10/2025).
Berdasarkan Analisis atas Putusan Sela Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 1673/Pdt.G/2025/PA.Tgrs Tanggal, 25 Agustus 2025.
Dalam perkara Nomor 1673/Pdt.G/2025/PA.Tgrs antara Andreas Taulany Bin R.M.I Haumahu (Pemohon) melawan Reinwartia Trigona Binti Yulius Anthony (Termohon).
Muncul persoalan mendasar dalam penerapan hukum acara, di mana majelis hakim mengabaikan alat bukti autentik yang diajukan Pemohon, dan justru mengabulkan eksepsi Termohon berdasarkan surat yang lemah secara pembuktian.
Pemohon dalam permohonan cerai talaknya telah menyebut alamat Termohon sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Termohon, yakni di Jalan Gelatik Atas No. 90, Kelurahan Rengas, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan.
Alamat tersebut merupakan data resmi dan sah secara administrasi kependudukan, serta telah diperkuat dengan Surat Keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Tangerang Selatan, yang menyatakan bahwa Termohon terdaftar secara valid dan aktif di alamat tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, data kependudukan yang diterbitkan oleh Disdukcapil adalah data autentik yang memiliki kekuatan hukum.
Oleh karenanya, bukti berupa KTP dan surat keterangan Disdukcapil merupakan alat bukti administratif yang sah dan harus diakui oleh setiap lembaga peradilan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam putusan eksepsinya mengesampingkan, bukti autentik tersebut, dan mengabulkan eksepsi Termohon.
Hanya berdasarkan surat keterangan domisili yang baru dibuat, setelah adanya permohonan cerai talak dari Pemohon.
Padahal, secara hukum acara perdata, kompetensi relatif pengadilan agama ditentukan berdasarkan domisili Termohon pada saat perkara diajukan, bukan berdasarkan domisili baru yang dibuat kemudian.
Surat keterangan domisili yang terbit post factum tidak memiliki nilai pembuktian yang kuat, apalagi jika diterbitkan hanya untuk kepentingan proses persidangan, Kata Fauzi.
Sikap majelis hakim yang mendasarkan putusan pada surat tersebut menunjukkan adanya kekeliruan penerapan hukum (error in application of law) serta pengabaian terhadap alat bukti autentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna.
Tindakan ini bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta menjatuhkan putusan berdasarkan fakta hukum yang sah.
Putusan eksepsi yang demikian bukan hanya merugikan Pemohon secara hukum, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai objektivitas dan ketelitian hakim dalam menilai alat bukti yang sah.
Dengan demikian, putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 1673/Pdt.G/2025/PA.Tgrs perlu dikoreksi melalui upaya hukum lebih lanjut.
Agar asas keadilan dan kepastian hukum benar-benar ditegakkan di atas dasar fakta hukum, yang autentik, bukan surat yang dibuat belakangan. Pungkasnya.