Jakarta, Redaksi Satu – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ungkap pentingnya transparansi perpajakan nasional.
Hal itu disampaikan pada saat, Rapimnas III dengan Dirjen Pajak di Jakarta. Dan menyinggung, transparansi, integritas dan kolaborasi.
Demi memperkuat sistem perpajakan nasional, salah satunya dengan pendekatan penegakan hukum multi door approach.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua KPK Setyo Budiyanto, pada Jumat (10/10) di Jakarta.
Menurut Setyo, penegakan hukum di sektor perpajakan harus berani melampaui pendekatan tunggal yang selama ini, bergantung pada proses administratif.
Pendekatan multi door ini, memungkinkan keterlibatan hukum lain seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan korupsi.
Ini merupakan dinilai sebagai kunci, untuk menciptakan efek jera yang nyata, ungkap Setyo.
“Penegakan hukum pajak seharusnya tidak berhenti di satu pintu. Ada banyak pintu masuk yang bisa digunakan, termasuk TPPU dan korupsi. Pendekatan multi-door ini penting, kata Setyo.
Lebih lanjut, Setyo menilai masih banyak praktik yang tidak selaras dengan prinsip keadilan, di mana wajib pajak yang taat justru ditekan.
Sementara penghindar pajak lolos pengawasan. Kondisi tersebut perlu diubah dengan penegakkan hukum yang adil dan berani menyasar pelaku pelanggaran.
“Wajib pajak yang patuh malah dihajar, sementara yang tidak punya NPWP justru tidak tersentuh. Ini yang harus diubah,” ujarnya.
Dalam forum yang dihadiri lebih dari 500 pimpinan DJP dari berbagai daerah, Setyo juga menyinggung pentingnya membangun budaya transparansi.
Muncaknya reformasi birokrasi pajak. Bagi KPK, keberhasilan reformasi tidak hanya diukur dari kebijakan fiskal, tapi moralitas dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.
KPK mencatat sejumlah kasus besar di sektor pajak, seperti Angin Prayitno Aji, yang menerima suap dari korporasi sebesar Rp50 miliar pada 2022 dan Rafael Alun Trisambodo, yang terjerat gratifikasi dan TPPU hingga Rp100 miliar pada 2023.
Sejumlah kasus tersebut menjadi bukti bahwa praktik korupsi seringkali terjadi dalam relasi segitiga antara pejabat, wajib pajak, dan konsultan.
“Kita harus berani menembus sekat penegakan hukum sektoral. Kalau kasus TPPU, gunakan UU TPPU. Kalau korupsi, libatkan aparat hukum lain dan jangan berhenti di pajak saja, papar Setyo.
Selain itu, Setyo juga menyoroti Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2024 yang masih berada di angka 37 dari 100, sebagai sinyal perlunya reformasi lebih dalam, khususnya dalam tata kelola penerimaan negara.
Ia menekankan, sektor pajak berpengaruh besar terhadap persepsi global atas integritas Indonesia.
“Kalau tata kelola pajak bersih, dampaknya akan besar terhadap persepsi publik dan dunia internasional terhadap integritas kita,” tambah Setyo.
KPK, lanjut Setyo, terus memperkuat sinergi melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu), BPKP, dan aparat penegak hukum guna membangun sistem pencegahan yang komprehensif.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan dukungan penuh atas upaya KPK.
Ia menyebut, DJP kini tengah memperkuat penegakan hukum berbasis pendekatan multi door, termasuk untuk kasus illicit enrichment, penggelapan pajak, dan korupsi terintegrasi dengan TPPU.
“Kami percaya di setiap pengumpulan kekayaan ilegal, pasti ada kewajiban pajak yang tidak terpenuhi. Multi door approach akan memperkuat penegakan hukum dan menutup celah itu,” kata Bimo.
Ia menambahkan, DJP berkomitmen menjadi mitra strategis KPK dalam membangun sistem pajak yang adil dan transparan. Selain itu, pihaknya berharap jajaran pajak dapat menjadi garda terdepan dalam membangun kepercayaan publik terhadap keuangan negara.
Melalui kegiatan ini, KPK kembali mengingatkan agar sektor pajak dapat berjalan pada jalur yang benar.
Menurutnya, reformasi pajak akan berhasil diwujudkan jika dilakukan dengan keberanian berubah dan kesadaran kolektif dalam menjaga integritas, sehingga integritas tidak sekadar slogan. (Sumber Info KPK).