Pilihan (Capres) pada Pilpres 2024 diprediksi akan terbatas, dengan berlakunya syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau Presidential threshold 20 persen.
Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pertama kali dirumuskan pada pemilu 2004, ketika rakyat Indonesia pertama kali memilih presiden secara langsung.
Alasan dibuatnya presidential threshold ialah anggapan bahwa presiden harus mendapatkan dukungan di parlemen. Pasal 5 ayat 4 UU No. 23 tahun 2003.
Tentang Pemilu yang menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Angka tersebut sempat berubah beberapa kali. Sampai pada Pilpres 2019, partai yang hendak mencalonkan presiden dan wakil presiden harus memiliki paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.
Tahun 2019 adalah pertama kalinya Indonesia menggelar pemilu legislatif dan pilpres secara serentak, yang mana pemilu-pemilu sebelumnya, pemilihan legislatif dilakukan beberapa bulan sebelum pemilihan presiden.
Perdebatan keberadaan presidential threshold atau ambang batas prasyarat bagi partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden seakan belum akan berakhir dan selalu menarik untuk diulas dan publik terus bertanya akhir dari keberadaan presidensial threshold ini.
Terlihat permohonan terbaru uji materi tehadap aturan tersebut dengan nomor perkara 73/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak permohonan tersebut dan menyatakan mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy).
Terhadap putusan nomor perkara 73/PUU-XX/2022 ini ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari 2 (hakim) Hakim Konstitusi, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra. Hakim Konstitusi Suhartoyo tetap berpendirian sebagaimana putusan-putusan sebelumnya bahwa berkenaan dengan presidential threshold tidak tepat diberlakukan adanya persentase.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat bahwa ambang batas pencalonan calon presiden dan wakil presiden bukanlah merupakan open legal policy pembentuk undang-undang.
Sebab, secara konstitusional, syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden telah ditentukan secara eksplisit dalam UUD 1945. Ihwal ini, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemillihan umum”.
Dengan konstruksi atau perumusan norma konstitusi demikian, pembentuk undang-undang tidak dapat keluar dari apa yang telah dimuat dalam norma konstitusi dengan cara menambah syarat baru yang sama sekali tidak dikehendaki UUD 1945.
Setidaknya permohonan uji materi mengenai presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali diputus diantaranya terkait Pasal 222 yang diputuskan dan diucapkan dalam beberapa sidang terbuka sebelumnya yaitu, 11 Januari 2018, 25 Oktober 2018, dan putusan 25 Oktober 2018.
Terakhir, putusan pada 7 Juli 2022 lalu.. Terhadap kesemua itu, Mahkamah Konstitusi sebagian besar putusannya dalam pertimbangan hukumnya beralasan bahwa presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Kebijakan hukum terbuka (open legal policy) diyakini oleh Mahkamah Konstitusi adalah hak mutlak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga kekuasaan atribusi untuk membentuk undang-undang bersama presiden.
Syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden membuat pemilih pada Pilpres 2024 mendatang memiliki pilihan yang terbatas. Dengan persyaratan ini, hanya sosok yang mendapat dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 20% jumlah kursi DPR yang bisa mencalonkan diri.
Sementara sosok-sosok alternatif dan berpotensi sulit untuk naik, karena dukungan partai politiknya minim sehingga ia malah justru tidak bisa masuk ke dalam ruang kompetisi Pilpres 2024 mendatang.
Begitu pula partai politik yang baru akan mengikuti pemilu yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu dengan sendirinya tidak dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal itu tentu saja akan menimbulkan permasalahan hukum baru terhadap konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden karena bertentangan dengan esensi demokrasi sebagaimana juga telah dijamin dalam UUD NRI 1945.
Konsekuensi yang berbeda juga ditimbulkan dengan pemilu yang dilaksanakan secara serentak. Bagaimana cara mengetahui partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sementara pemilu anggota DRP belum dilaksanakan.
Sehingga apabila penyelenggaraan Pilpres 2024 mendatang masih dilaksanakan dengan menggunakan syarat ambang batas (presidential threshold), maka tentunya akan berdampak pada legalitas penyelenggaraan pemilu itu sendiri khususnya legalitas penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden.
Sehingga argumentasi menggunakan presidential threshold dalam Pemilihan Presiden harus ditinjau kembali.
Pasalnya setelah ditelusuri kembali Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Bab V Tentang Pemilihan Umum tidak terdapat pembahasan dalam original intent terkait syarat ambang batas presidensil atau presidential threshold.
Apalagi berdasarkan jumlah kursi dan suara sah secara nasional pemilu legislatif berdasarkan hasil pemilu 5 tahun sebelumnya, dari mulai pembahasan pada masa perubahan pertama hingga masa perubahan ke-empat. Selain itu, syarat ambang batas presidensil atau presidential threshold menciderai rasa keadilan terhadap partai politik.(*)
Oleh: Wiwit Pratiwi, SH., MH*
(*Penulis Mahasiswa Program Doktoral Hukum Universitas Andalas Padang)