Painan Sumbar I Redaksisatu.id – Telepon berdering, percakapan singkat melalui WhatsApp itu seharusnya hanya menjadi obrolan biasa antara seorang jurnalis dan seorang Bupati. Namun, alih-alih menjawab pertanyaan soal tanah, pembangunan, dan masyarakat Pesisir Selatan, suara di ujung telepon justru melontarkan pengakuan yang membingungkan.
“Saya ini wakilnya (Risnaldi- red ). Yang bupati itu Hendra Joni,” ujar lelaki yang tak lain adalah Hendra Joni Bupati Pesisir Selatan sendiri. Sebagaimana rekaman percakapan telp dengan awak media Hendra Joni menyamar sebagai Risnaldi, Wakil Bupati, dan rekaman itu beredar luas di tengah masyarakat Kab Pesisir Selatan.

Seketika, suasana percakapan berubah janggal. Wartawan yang menelpon melalui ponsel mencoba mengingatkan bahwa foto profil WhatsApp yang terpampang jelas adalah wajah sang bupati. Namun, jawaban yang datang tak kalah membingungkan: “Itu wakilnya.”
Antara Lelucon dan Cermin Psikologis
Bagi sebagian orang, pernyataan itu mungkin terdengar sebagai lelucon kecil. Namun di mata publik Pesisir Selatan, kata-kata itu justru seperti membuka jendela ke dalam kondisi psikologis seorang pemimpin. Seakan ada jarak yang sengaja ia ciptakan dari realitas bahwa dirinya adalahkKepala daerah yang kini tengah disorot tajam.
Dalam kondisi normal, seorang pemimpin biasanya berusaha menegaskan kewibawaan, memperlihatkan keyakinan diri, dan mengukuhkan posisinya di hadapan publik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: seorang pemimpin yang “bersembunyi” di balik klaim sebagai wakil. Sebuah ironi yang menyiratkan keraguan pada dirinya sendiri.
Cermin Kepercayaan yang Retak
Di lapangan, masalah memang tidak sedikit. Persoalan tanah, pembangunan yang tersendat, hingga keluhan warga soal ekonomi yang kian sulit. Alih-alih tampil sebagai penjawab, sang bupati justru terdengar ingin melepaskan tanggung jawab, bahkan menuding semua anggota DPRD “bermasalah”.
Bagi masyarakat, jawaban seperti itu hanya menambah daftar panjang alasan untuk meragukan kepemimpinan yang ada. “Kalau bupatinya sendiri tidak percaya diri mengakui jabatannya, bagaimana masyarakat bisa percaya kepadanya?” begitu kira-kira suara yang bergaung di tengah warga.
Simbol Krisis Kepemimpinan
Percakapan itu mungkin hanya berlangsung beberapa menit. Tetapi dampaknya jauh lebih dalam. Kata-kata yang meluncur spontan dari seorang bupati telah menjadi simbol: krisis kepercayaan bukan hanya di mata masyarakat, tapi juga di dalam dirinya sendiri.
Seperti seseorang yang bercermin dan ragu dengan bayangan yang ia lihat, begitulah sosok Hendra Joni tampak dari percakapan tersebut. Ia adalah bupati yang menyebut dirinya wakil, pemimpin yang seolah tak lagi sanggup menanggung beban nama dan jabatan yang ia sandang.
Dan bagi Pesisir Selatan, drama kecil ini hanyalah permukaan dari masalah besar: ketika kepemimpinan kehilangan pijakan, masyarakat pun dibiarkan berjalan dalam keraguan yang sama. (*** )