BOYOLALI, redaksisatu.id – Isu ketimpangan anggaran pendidikan dalam RAPBD Boyolali 2026 kembali menyedot perhatian publik. Bukan tanpa alasan.
Pemerintah Kabupaten Boyolali mengusulkan anggaran seragam dan LKS untuk siswa SD–SMP mencapai Rp 16,4 miliar, sementara dana untuk rehabilitasi sekolah rusak yang jumlahnya mencapai 321 unit justru hanya Rp 284,8 juta.
Perbandingan yang timpang terkait seragam ini menimbulkan tanda tanya besar: apa sebenarnya prioritas kita dalam dunia pendidikan? Apakah pakaian anak-anak lebih penting daripada keselamatan mereka di dalam kelas?
321 Sekolah Rusak, Hanya 284 Juta untuk Perbaikan?
Komisi IV DPRD Boyolali, soal anggaran seragam melalui ketuanya Suyadi, menyebut angka tersebut sebagai bentuk “keprihatinan” sekaligus sinyal bahwa pemerintah kurang peka terhadap keselamatan anak didik. Dan kritik itu bukan berlebihan.
Dengan total sekolah rusak sebanyak 321 unit, anggaran 284 juta bahkan tak cukup untuk memperbaiki satu gedung sekolah secara menyeluruh. Jika dibagi rata, nilainya tak sampai Rp 1 juta per sekolah, jumlah yang tidak masuk akal untuk kebutuhan konstruksi apa pun.
Ini bukan lagi masalah teknis anggaran, tetapi kegagalan memahami kebutuhan paling mendasar dalam pendidikan: infrastruktur yang aman untuk belajar.
Di sejumlah laporan inspeksi, masih ditemukan ruang kelas yang retak, plafon yang lapuk, dan bangunan yang dikatagorikan rawan roboh.
Setiap hari, ribuan anak menghabiskan waktu berjam-jam di ruang yang secara teknis tidak layak. Ketika nyawa siswa berada di bawah atap yang rapuh, apakah seragam baru masih bisa dianggap prioritas?
Seragam dan LKS: Program Baik yang Bisa Salah Arah
Tak ada yang menyangkal bahwa seragam gratis adalah program populis yang digemari orang tua. Namun program yang baik harus tetap tunduk pada prioritas yang benar.
Ketika dana Rp 16,4 miliar dialokasikan untuk seragam dan LKS, sementara sekolah-sekolah dalam kondisi membahayakan, muncul pertanyaan: apakah pemkab benar-benar menimbang urgensinya?
Lebih jauh lagi, pada beberapa bulan terakhir publik juga mendengar adanya laporan mengenai dugaan jual-beli seragam di sekolah negeri.
DPRD bahkan juga melakukan sidak setelah ada orang tua mengeluh seragam anaknya ditahan karena belum lunas pembayaran.
Walaupun Pemkab membantah adanya kewajiban membeli seragam di sekolah, kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa urusan seragam bukan soal sederhana.
Mengalokasikan anggaran yang begitu besar untuk program yang rawan gesekan semacam ini tentu memerlukan pengawasan ketat. Sementara itu, gedung-gedung sekolah yang retak tidak bisa menunggu.
Pendidikan Bukan Sekadar Penampilan
Seragam memang memberi keseragaman penampilan, tetapi keselamatan memberi kepastian masa depan. Memprioritaskan seragam di atas kondisi fisik sekolah sama dengan membangun rumah dengan atap emas tetapi pondasinya rapuh.
Anak-anak datang ke sekolah bukan untuk mempertontonkan pakaian, tetapi untuk menimba ilmu dalam ruang yang aman, nyaman, dan layak di tempati.
Beban ini sebenarnya bukan hanya milik pemerintah. Masyarakat, guru, orang tua, dan media memiliki peran penting dalam mengawasi anggaran publik. Jika ada yang tidak wajar, rakyat berhak bersuara. Karena yang dipertaruhkan bukan sekadar program tahunan, tetapi nasib generasi penerus Boyolali.
Saatnya Pemerintah Daerah Menata Prioritas
DPRD, melalui Komisi IV, sudah memberi sinyal keras: revisi, koreksi, dan evaluasi anggaran harus dilakukan. Namun suara rakyat juga perlu hadir untuk memperkuat langkah itu.
Boyolali membutuhkan:
1. Prioritas anggaran yang berpihak pada keselamatan dan infrastruktur pendidikan.
2. Audit dan transparansi pengadaan seragam dan LKS agar tidak terjadi penyalahgunaan.
3. Perencanaan rehabilitasi sekolah yang menyeluruh, bukan sekadar kosmetik anggaran.
4. Kebijakan berbasis kebutuhan nyata di lapangan, bukan sekadar program yang terlihat baik di atas kertas.
Anak-anak Boyolali tidak meminta seragam mahal. Mereka hanya ingin belajar dengan aman, tanpa takut bangunan di atas kepala mereka runtuh.
Dan itu adalah hak mereka — hak yang wajib dijamin negara.
Ketimpangan antara anggaran seragam Rp 16,4 miliar dan anggaran rehab sekolah Rp 284 juta bukan persoalan kecil. Ini soal logika, keadilan, dan keselamatan.
Jika keselamatan anak masih kalah dengan penampilan, maka kita sedang kehilangan arah. Pemerintah daerah harus peka, DPRD harus tegas, dan rakyat harus bersuara.
Karena pendidikan bukan hanya urusan apa yang terlihat, tetapi apa yang benar dan paling dibutuhkan.(MSar)
DISCLAIMER
Opini ini disusun berdasarkan informasi yang tersedia di media arus utama dan pernyataan terbuka dari DPRD Boyolali. Pandangan dalam tulisan ini mencerminkan interpretasi penulis sebagai bagian dari suara publik, bukan representasi resmi lembaga pemerintah mana pun. Jika di kemudian hari terdapat klarifikasi atau data baru dari pihak berwenang, opini ini akan disesuaikan demi menjaga akurasi dan keberimbangan informasi.
Data yang digunakan bersumber dari pemberitaan media dan pernyataan resmi DPRD Boyolali pada rapat pembahasan RAPBD 2026.




