Opini
Redaksi Satu – Sudah berapa tahun perdebatan isu ijasah palsu berlangsung, yang hingga kini belum ada tanda tanda selesai.
Bagi banyak pekerja kantoran, akhir pekan adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk berlibur, jalan-jalan, atau sekadar melepaskan penat.
Namun bagi pekerja bangunan yang berupah pas-pasan, akhir pekan justru menjadi kesempatan untuk kerja lembur.
Dengan penghasilan harian yang terbatas, waktu istirahat sering kali harus dikorbankan demi menutup kebutuhan dapur.
Di sela-sela kerja keras itu, ada momen ketika mereka sempat melihat linimasa media sosial.
Yang menarik perhatian bukan kabar gembira, tentang berapa kenaikan upah melainkan perdebatan panjang soal isu ijazah palsu yang terus memanas.
Dua kelompok terlihat sangat kontras, Pekerja bangunan, para tulang punggung keluarga yang bekerja sejak pagi hingga sore bahkan akhir pekan.
Para pendukung politik, analis, dan elit, yang setiap hari memenuhi dunia maya dengan perdebatan soal ijazah tokoh tertentu.
Dalam pikiran dan hati kecilnya pekerja bangunan membayangkan terus berapa besar pendapat mereka, kok bertahun tahun berdebat soal isu ijasah palsu tidak selesai selesai.
Terjadi jurang pemisah kehidupan. Saat rakyat kecil sibuk mencari nafkah tanpa hari libur, dunia politik justru dipenuhi polemik yang tidak kunjung selesai.
Walaupun sudah ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, isu ijazah palsu tetap berputar di media sosial, memicu debat tanpa ujung.
Fenomena ini tampak jelas, Di lapangan proyek, tempat pekerja berkeringat setiap hari. Di media sosial, tempat debat politik berlangsung 24 jam tanpa henti.
Terutama setiap akhir pekan, ketika pekerja memilih lembur, sementara media sosial tetap panas dengan isu-isu politik.
Bagi pekerja bangunan, hidup tidak memberi banyak pilihan. Harga kebutuhan pokok naik, biaya sekolah naik, sementara upah stagnan. Satu-satunya cara bertahan adalah bekerja lebih lama.
Sementara itu, perdebatan ijazah palsu berlarut-larut karena, Menyangkut tokoh publik besar, Ada kepentingan politik besar, Dan belum ada kejelasan yang memuaskan publik.
Rakyat kecil sering hanya bisa menggelengkan kepala melihat polarisasi di dunia maya.
Pertanyaan sederhana muncul: “Kerjanya apa ya orang-orang yang tiap hari debat soal ijazah? Kok nggak selesai-selesai?”
Bagi pekerja bangunan, yang penting adalah bagaimana besok bisa tetap makan, bukan ikut menyimak drama politik yang tak ada ujungnya.
Akhir pekan bagi pekerja bangunan bukan waktu bersantai. Mereka bekerja lebih keras demi hidup, sementara dunia maya justru sibuk dengan perdebatan politik seperti isu ijazah palsu.
Dua dunia ini berjalan berdampingan, namun dengan prioritas dan kenyataan yang sangat berbeda.
Rakyat kecil hanya bisa berharap agar negara lebih fokus pada kehidupan nyata mereka—bukan terus terseret dalam polemik politik yang tak henti. (M.Sar).



