REDAKSI SATU – Pernyataan Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid terkait rencana pembagian 1,4 juta hektare tanah telantar kepada organisasi kemasyarakatan (ormas), termasuk NU, Muhammadiyah, dan PMII, memunculkan beberapa pertanyaan dan kekhawatiran serius yang perlu disanggah.
Agus Landy selaku Biro Hukum di Ormas Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) DPD Kalbar, bahwa metode dan prioritas pembagian ini memerlukan kajian ulang dan transparansi yang lebih ketat. Meskipun niat untuk memanfaatkan tanah telantar agar produktif patut diapresiasi.
1. Prioritas Utama Seharusnya Reforma Agraria untuk Petani dan Masyarakat Adat.
Program reforma agraria sejatinya ditujukan untuk petani gurem, buruh tani, dan masyarakat adat yang selama ini tidak memiliki atau minim kepemilikan lahan. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan peraturan turunannya jelas mengamanatkan redistribusi tanah untuk keadilan agraria dan peningkatan kesejahteraan rakyat kecil. Mengutamakan pembagian kepada ormas, meskipun dengan dalih untuk pembangunan pesantren atau koperasi, berpotensi menggeser fokus utama reforma agraria dari kelompok masyarakat yang paling membutuhkan lahan untuk penghidupan.

2. Kriteria dan Mekanisme Pemilihan Ormas yang Tidak Jelas.
Menteri Nusron menyebutkan bahwa prinsipnya terbuka untuk siapa pun dan sudah dipaparkan ke berbagai ormas. Namun, tidak dijelaskan secara rinci kriteria objektif apa yang akan digunakan untuk menentukan ormas mana yang berhak menerima dan bagaimana mekanisme alokasi dilakukan. Tanpa kriteria yang jelas, proses ini rentan terhadap subjektivitas, kolusi, dan konflik kepentingan, yang bisa memicu tudingan pilih kasih atau politisasi tanah. Pertanyaan muncul: apakah ormas tersebut memiliki kapasitas dan rekam jejak yang terbukti dalam pengelolaan lahan berskala besar secara produktif dan berkelanjutan, serta manfaatnya bagi masyarakat luas, bukan hanya internal Ormas?.
3. Potensi Konflik Agraria Baru dan Penguasaan Tanah Oleh Elit Ormas.
Pengalihan atau pembagian tanah telantar ke ormas, terutama dalam skala besar (ratusan hingga ribuan hektare), berpotensi menciptakan konflik agraria baru. Bagaimana jika tanah yang diklaim telantar tersebut ternyata memiliki klaim tumpang tindih dari masyarakat lokal, petani penggarap, atau masyarakat adat yang tidak diakui secara formal? Selain itu, ada kekhawatiran bahwa tanah tersebut pada akhirnya hanya akan dikelola oleh elit di dalam ormas atau pihak-pihak terafiliasi yang memiliki modal, bukan benar-benar untuk kepentingan umat secara luas atau rakyat kecil. Ini bisa mengulang praktik penguasaan tanah oleh segelintir pihak, hanya saja kali ini berlabel “ormas”.
4. Transparansi Data dan Akuntabilitas Pengelolaan Tanah.
Menteri ATR/BPN mengklaim sudah memetakan tanah-tanah tersebut lengkap dengan luas dan lokasi. Namun, akses publik terhadap data ini sangat terbatas. Untuk memastikan akuntabilitas, pemerintah harus membuka data detail lokasi, luas, status, dan riwayat tanah telantar yang akan dibagikan. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat terhadap penggunaan tanah oleh Ormas penerima. Bagaimana negara memastikan tanah tersebut benar-benar dimanfaatkan sesuai peruntukan (misalnya untuk pesantren atau koperasi) dan tidak dialihkan fungsinya di kemudian hari atau bahkan diperjualbelikan?.
5. Diskriminasi Potensial Terhadap Kelompok Non-Ormas Keagamaan Besar.
Penyebutan secara eksplisit beberapa ormas keagamaan besar seperti NU dan Muhammadiyah, serta PMII, menimbulkan pertanyaan mengenai kesempatan bagi kelompok masyarakat lain yang juga membutuhkan lahan, seperti kelompok tani independen, koperasi masyarakat, atau organisasi lingkungan. Apakah mereka juga akan mendapatkan kesempatan yang sama? Fokus yang terlalu sempit pada ormas tertentu dapat menciptakan persepsi diskriminasi dan ketidakadilan dalam program pemerataan lahan.
Meskipun upaya memanfaatkan tanah telantar adalah langkah positif, pemerintah perlu mengkaji ulang prioritas dan metodologi pembagiannya.
“Fokus utama reforma agraria seharusnya tetap pada keadilan agraria bagi petani dan masyarakat adat. Pembagian kepada Ormas harus didasarkan pada kriteria yang transparan, mekanisme yang jelas, serta pengawasan yang ketat, agar tidak menciptakan masalah baru dan benar-benar memberikan manfaat yang luas bagi rakyat, bukan hanya kelompok tertentu,” ujar Agus Landy.