Di sebuah fajar bulan Agustus, 80 tahun lalu, udara tipis di sebuah gang kecil di Jakarta bergetar. Selembar kain dua warna, merah putih – merah di atas, putih di bawah, dijahit dengan jahitan terburu-buru. Tangan-tangan yang bekerja pada kain itu gemetar, bukan karena lelah, tapi karena sadar bahwa selembar kain itu bisa menjadi alasan untuk mati.
Ketika bendera merah putih itu akhirnya berkibar, dunia seakan berhenti sesaat. Merahnya seperti darah yang tumpah di medan pertempuran. Putihnya seperti doa yang tak henti dipanjatkan para ibu di sudut sudut kampung. Bendera itu tidak hanya menjadi tanda kemerdekaan — ia adalah sumpah, ia adalah harga diri bangsa Indonesia.
Namun, pagi ini, delapan dekade kemudian, saya berjalan melewati deretan rumah yang sepi. Bendera merah putih memang ada, tapi tak semua berkibar dengan gagah. Ada yang kusam, warnanya memudar menjadi merah jambu dan putih kusam. Ada yang tergantung miring di tiang listrik, terjerat kabel. Ada pula yang setengahnya tersangkut di genting, dibiarkan menunggu angin membebaskannya.

Di pusat kota, perayaan meriah. Panggung hiburan, pesta rakyat, dan marawa warna-warni menghiasi jalan. Ironisnya, di tengah gegap gempita itu, sang merah putih seakan menjadi figuran di panggungnya sendiri. Ia kalah pamor dari spanduk iklan, kalah sorot dari lampu panggung.
Bendera yang dulu membuat para penjajah gentar, kini tak lagi membuat dada bergetar. Ia seperti tamu kehormatan yang dibiarkan duduk di pojok ruangan tanpa sapaan. Kita lupa, atau pura-pura lupa, bahwa kemerdekaan tidak pernah datang gratis. Ia dibayar dengan nyawa, luka, dan air mata.
Ketika kita membiarkan bendera itu kusut, robek, atau terpasang asal-asalan, sesungguhnya kita sedang menghapus perlahan-lahan ingatan bangsa ini. Kita sedang berkata, tanpa kata-kata: “Pengorbanan itu sudah cukup, sekarang kau hanya kain dua warna.”
Padahal, setiap kali merah putih berkibar gagah di tiang, seharusnya ada sesuatu di dalam dada kita yang ikut berdiri tegak dan bergetar. Seharusnya kita teringat pada mereka yang tidak pernah pulang, pada suara tembakan di fajar buta, pada langkah kaki yang tak gentar walau menghadapi maut.
Merah putih bukan hanya simbol. Ia adalah cermin: bagaimana kita memperlakukannya adalah bagaimana kita menghargai negeri ini.
Bendera Merah Putih bukan sekadar kain, ia adalah lambang negara yang dilindungi dan diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Bendera Merah Putih adalah Simbol Kedaulatan. Memperlakukan bendera dengan hormat berarti menjaga martabat negara.
Memasang bendera dalam kondisi bersih, rapi, dan tidak kusam adalah wujud kesadaran berbangsa. Penempatan bendera di lokasi terhormat memberi contoh kepada generasi muda tentang menghargai simbol negara.
Menghormati Merah Putih
Mulailah dari halaman rumah kita sendiri. Berdirikan tiang, tegakkan bendera itu setinggi mungkin, biarkan ia menari di angin dengan gagah. Jangan tunggu perintah, jangan tunggu perayaan besar. Karena bendera bukan hanya milik negara di atas kertas — ia milik kita, penjaga kemerdekaan yang masih hidup hari ini.
Jangan biarkan merah putih menjadi penanda waktu yang hanya muncul di bulan Agustus. Biarkan ia menjadi nafas yang terus mengingatkan kita bahwa kita berdiri di tanah yang merdeka, yang tidak lagi diinjak-injak kaki asing.
Kita tidak diminta untuk mengangkat senjata seperti para pejuang dulu. Kita hanya diminta menjaga marwah lambang yang mereka titipkan. Memasang bendera dengan hormat adalah perkara kecil, tapi dari hal kecil seperti inilah martabat bangsa dibangun.
Jangan sampai anak cucu kita kelak bertanya: “Mengapa bendera kita lusuh, Ayah? Apakah kemerdekaan sudah tak penting lagi?”
Jika pertanyaan itu muncul, mungkin saat itu kita baru sadar — kita telah membiarkan semangat kemerdekaan terkubur di antara tiang listrik dan tiang teras rumah.



