Pasaman Barat | Redaksi Satu – Tidak semua mandat 29 organisasi dilaksanakan Dewan Pers, hal ini sangat disayangkan. Pasalnya, implementasi dari penguatan kelembagaan Dewan Pers yang dituangkan oleh 29 pimpinan Organisasi pada tahun 2006 melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 05/SK-DP/111/2006 tentang Penguatan Peran Dewan Pers, salah diterjemahkan oleh pengurus Dewan Pers di tahun-tahun berikutnya.
Bahkan ketentuan yang disepakati justeru tidak dilaksanakan secara menyuluruh oleh Dewan Pers hingga saat ini.
Awalnya, 29 pimpinan organisasi pers membuat pernyataan dan sepakat memberi “hadiah” berupa mandat penguatan kelembagaan terhadap Dewan Pers, hal ini bertujuan agar ada perlindungan dan jaminan terhadap profesinya melalui penguatan peran Dewan Pers.
Demikian sekilas riwayat ke belakang, bagaimana Dewan Pers membujuk 29 pimpinan organisasi pers untuk membahas konsep tentang penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers dengan terbitnya Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 05/SK-DP/111/2006 tentang Penguatan Peran Dewan Pers.
Terkait hal itu, Ketua Dewan Pers Indonesia, Heintje Mandagie menyayangkan pengurus Dewan Pers selanjutnya, yang salah menterjemahkan penerapan atau implementasi dari penguatan kelembagaan Dewan Pers tersebut.
“Bahkan ketentuan yang disepakati justru tidak dilaksanakan secara menyuluruh oleh Dewan Pers hingga saat ini. Ada beberapa poin penting dalam isi penguatan kelembagaan Dewan Pers ini justeru dilanggar oleh Dewan Pers,” terangnya.
Menurut Ketua DPI ini, sebenarnya dalam draft asli UU Pers Tahun 1999, awalnya memang tidak ada pasal tentang Dewan Pers.
Heintje Mandagie lebih jauh menjelaskan, menengok sejarah ke belakang, Indonesia pernah melewati sejarah kelam kemerdekaan pers. Dewan Pers dan terutama Departemen Penerangan RI yang dianggap membelenggu kemerdekaan pers di era Orde Baru akhirnya tumbang dan dibubarkan.
“Tidak ada lagi Depen RI dan Dewan Pers menyusul Undang-Undang pokok Pers, era Orde Baru dinyatakan tidak berlaku,” ulasnya.
Draft Undang-Undang Pers tahun 1999 kemudian dipersiapkan oleh para pejuang kemerdekaan pers bersama-sama dengan puluhan pimpinan organisasi-organisasi pers, termasuk Ketua Umum SPRI ketika itu dijabat Lexy Rumengan.
“Dalam draft asli UU Pers Tahun 1999 itu tadinya tidak ada yang mengatur tentang Dewan Pers,” jelasnya.
Salah satunya adalah pada poin ke 10, Dewan Pers perlu terus mendorong berlakunya pasal-pasal yang mendukung dekriminalisasi terhadap karya jurnalistik atau tidak menganggap pelanggaran hukum dalam karya jurnalistik sebagai kejahatan.
Pada poin ke 10 huruf d, diatur tentang penerapan sanksi perdata terhadap karya jurnalistik dan hendaknya berupa denda proporsional yang tidak menyulitkan kehidupan pihak pembayar atau membangkrutkan perusahaan yang harus membayar denda, karena putusan hukum yang berakibat demikian serupa dengan putusan politik berupa pembredelan terhadap media pers.
“Sayangnya poin yang mengatur tentang perlindungan terhadap karya jurnalistik ini tidak dijalankan sesuai mandat dan amanah yang diberikan kepada Dewan Pers,” ungkapnya.
Contoh kasus yang menghebohkan jagad pers tanah air, Muhamad Yusuf yang bekerja di media Kemajuan Rakyat dan Sinar Pagi Baru, dikriminalisasi akibat berita yang ditulisnya tentang rakyat yang terzolimi oleh perlakuan perusahaan, justru direkomendasi Dewan Pers untuk diproses dengan ketentuan hukum lain di luar UU Pers.
“Almarhum Yusuf pun dikriminalisasi dan ditahan, dan akhirnya tewas dalam tahanan. Dia harus menerima nasib sebagai wartawan yang berita kontrol sosialnya direkomendasi Dewan Pers sebagai “kejahatan” dan layak diteruskan dengan hukum di luar Undang-Undang Pers,” jelasnya.
Pengingkaran terhadap kesepakatan penguatan peran Dewan Pers juga adalah mengenai pembentukan Perwakilan Dewan Pers di berbagai daerah sebagaimana diatur dalam poin ke 2.
“Sampai sekarang nyaris tidak ada perwakilan Dewan Pers di daerah yang terbentuk. Kondisi ini yang menyebabkan semua pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas pemberitaan di media akan lebih memilih melaporkan wartawan atau media ke pihak Polisi jika ada sengketa pers, bukannya ke Dewan Pers,” ungkapnya.
Sejak tahun 2006 di mana, saat setelah Dewan Pers berhasil membujuk dan mengajak puluhan pimpinan organisasi pers untuk berkumpul dan membahas konsep tentang penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers melalui kegiatan Lokakarya pada tanggal 13 Agustus 2003 di Jakarta, semua perjuangan pimpinan organisasi Pers pun bergeser.
Memang dengan adanya UU Pers 40 Tahun 1999,
awalnya organisasi-organisasi pers begitu merdeka dan dominan menjalankan aktifitas pengembangan kemerdekaan pers dan peningkatan kualitas pers nasional secara mandiri dan bertanggung-jawab berjalan, namun akhirnya semua berubah seiring dengan perubahan situasi dengan adanya atau terbitnya Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 05/SK-DP/111/2006 tentang Penguatan Peran Dewan Pers.
(Zoelnasti)