Pasaman Barat | Redaksi Satu – Mengantarkan Rakyat ke Depan Pintu Gerbang Kemerdekaan.
Apa sebenarnya, makna dan penjelasan Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan,
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara melalui sistim jaminan sisial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Sementara, saat ini masih banyak kita temui fakir miskin dan anak terlantar yang seharusnya memang menjadi tanggung kita semua, khususnya tanggung jawab negara yang masih terabaikan.
Kita lihat selama ini, bukan hanya di perkotaan atau pinggiran kota, tapi di desa – desa pun masih banyak kita lihat masyarakat yang tatanan hidupnya di bawah garis kemiskinan.
Apa lagi kita lihat tatanan sosial ekonominya, jauh di bawah rata-rata masyarakat kebanyakan, hingga bukan saja problem dampak kemiskinan yang muncul, tapi di dalam kehidupan mereka banyak ditemui keluhan, seperti kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan, bahkan kadang hidupnya tergantung atas adanya bantuan dari orang lain.
Bila sudah banyak muncul berbagai keluhan dan di abaikan berlarut-larut, hal ini tentu menjadi problem (masalah) yang sulit dicari solusinya, bahkan dampaknya terhadap sosial lingkungan akan rentan terjadi, bukan saja akan munculnya berbagai penyakit, tapi kemungkinan adanya kejahatan lingkungan atau penyakit masyarakat (pekat) semakin meningkat.
Kalau demikian, tentu mencapai cita-cita kemerdekaan yakni Masyarakat Adil dan Makmur akan semakin jauh, apa lagi hingga kini, yang namanya pintu gerbang kemerdekaan saja, belum juga terlihat.
Bagaimana negara mampu mengantarkan rakyat ke depan pintu gerbang kemerdekaan?
Sementara, saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur itu saja, hingga kini, jangankan membuka gerbang, masuk untuk untuk melihat kondisi kemerdekaan yang sesungguhnya, masih mimpi alias sebatas angan saja.
Artinya Negara ini, belum membuka gerbang kemerdekaan yang sesungguhnya, apalagi sampai membawa rakyat masuk ke dalamnya.
Dalam konteks ini, apakah selamanya rakyat Indonesia harus dituntut untuk meneruskan perjuangan tersebut secara Individualisme?
Sudah seharusnya lah, pemimpin dan para pejabat negara Indonesia ini harus memikirkan nasib rakyatnya, dengan terus memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini agar bukan saja mencapai pintu gerbang kemerdekaan, tetapi mampu membawa bangsa ini masuk untuk menikmati kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur itu.
Kita tahu, bagai mana para Pahlawan sebagai pendiri negeri ini, mereka rela berkorban bahkan bukan saja nyawa, tapi mengorbankan segalanya untuk mengantarkan rakyat mencapai kemerdekaan negara Indonesia.
Makanya kita sebagai bangsa yang berdaulat,terutama penyelenggara negara ini, bersama dengan seluruh Rakyat Indonesia atas dasar patriotisme dan jiwa nasionalisme yang tinggi, harus bertanggung jawab dan selalu siap untuk membela Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai harga mati dan sampai titik darah penghabisan.
Saat ini banyak lahir generasi bangsa yang berjiwa nasionalisne yang dibuktikan dengan semangat patriotik kemanusiaan yang tinggi untuk menjaga NKRI terus berdaulat.
Terbukti, dengan hadirnya di Republik Indonesia tercinta ini, berbagai komunitas organisasi, seperti organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, badan usaha amal, lembaga peduli kesejahteraan sosial dan lain-lain.
Yang kita tahu, semua komunitas tersebut aktif melakukan kegiatan peduli kemanusiaan dalam rangka menjamin terpenuhinya hak kebutuhan dasar warga negara, bukan saja dari sisi kemanusiaan dalam membantu atau meringankan saudara kita yang miskin serta tidak mampu, tapi dari sisi hak pendidikan, kesehatan dan hukum serta keadilan akan tuntutan terciptanya lapangan kerja, demi tegaknya hukum Republik Indonesia tercinta ini dengan satu tujuan yakni agar terselenggara kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, serta berkelanjutan.
Akhir-akhir ini kita lihat, banyak organisasi- organisasi tersebut bergerak dengan menyelenggarakan kegiatan untuk kesejahteraan sosial, terutama kepada saudara kita yang membutuhkan peran masyarakat.
Belum lagi bila para relawan ini, melihat dan menemui saudaranya yang ada di lingkungan sekitarnya, mengidap penyakit atau sakit parah, jangankan untuk makan, sedangkan untuk biaya berobat mereka sudah tak mampu.
Tentu hal ini, tidak akan dibiarkan begitu saja oleh para relawan-relawan kemanusiaan tangguh tersebut, sebab para relawan ini tidak ingin situasi tersebut agar menjadi problem terhadap lingkungannya semakin tinggi.
Begitu juga relawan kemanusiaan ini tidak ingin saudaranya tersebut akhirnya akan menjalani kehidupannya lebih kepada pasrah dengan harapan yang tak pasti.
Berdasarkan pengalaman penulis yang juga selalu ikut aktif di komunitas sosial dan peduli kemanusiaan, bila melihat penderitaan saudara kita tersebut, ikut miris dan terharu melihatnya.
Makanya, agar hidup ketergantungan kepada orang lain ini tidak menjadi budaya yang tak elok, meskipun dalam hal ini peran masyarakat memang dibutuhkan, penulis lihat secara spontan, para relawan-relawan tangguh ini mampu menembus batas kemanusiaan untuk bergerak meringankan beban saudaranya tersebut.
Meskipun kadang dalam perjuangannya, para relawan ini sering terbentur dengan situasi yang menyulitkan, seperti dana, waktu maupun administrasi birokrasi akibat aturan tetek bengek dari penyelenggara negara, namun relawan- relawan tangguh dengan keterbatasannya mampu menembus semua itu dengan kegigihan dan kesabaran.
Sering yang muncul dalam pikiran penulis, Apakah harus selamanya masyarakat miskin kita, hidupnya hanya membutuhkan dan tergantung dengan adanya peran dari kepedulian masyarakat, ataupun relawan-relawan kemanusiaan seperti, adanya kepedulian dari para relawan organisasi keagamaan, organisasi peduli sosial, lembaga swadaya masyarakat, dengan gerakan spontan ini saja ?
Seharusnya agar dapat terselenggaranya kesejahteraan sosial yang lebih terarah, terpadu, serta berkelanjutan, sudah selayaknya lah negara hadir dan bertanggung jawab untuk ikut mengatasinya, dengan tanpa mempersulit birokrasi ataupun membenturkan aparatur negara di lapangan dengan aturan mengikat tapi mempersulit.
Seharusnya hal tersebut tak lagi ditemui di lapangan, apa lagi kita tahu, bahwa bantuan terhadap fakir miskin dan orang terlantar tak terkecuali bantuan hukum, juga merupakan kewajiban negara.
Sebab hal tersebut sudah termaktub dan berbunyi pada Pasal 34 UUD 1945 yang antara lain isi ayat 1-4 menjelaskan tentang kesejahteraan sosial.
Yang bunyinya dan penjelasan Pasal 34 UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Yakni, antara lain lebih kurang dijelaskan, pasal ini mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Maknanya, Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberi rehabilitasi sosial jaminan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan sosial sebagai wujud pelaksanaan kewajiban negara dalam rangka menjamin terpenuhinya hak kebutuhan dasar warga negara yang miskin serta tidak mampu.
Selanjutnya juga, memang dikatakan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini membutuhkan peran masyarakat seluas-luasnya, makanya di atas telah dituliskan peran masyarakat ini, namun kerja sama dan sinergitas dalam sebuah kolaborasi dari semua pihak tentu sangat dibutuhkan agar terselenggaranya capaian kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, serta berkelanjutan dapat tercapai.
Suka duka pengalaman penulis dan beberapa relawan tangguh yang ditemui di lapangan, seperti adanya beberapa hambatan dan kendala yang ditimbulkan oleh penyelenggara negara maupun tenaga medis yang kurang paham terhadap makna dan penjelasan Pasal 34 UUD 1945, akan kita ungkap berdasarkan uraian dari bincang -bincang senja media ini dengan dua tokoh Tangguh pergerakan kemanusiaan Pasbar di bawah ini.
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗥𝘂𝗺𝗮𝗵 𝗦𝗮𝗸𝗶𝘁 𝗞𝗶𝘁𝗮 𝗠𝗲𝗹𝗮𝘆𝗮𝗻𝗶 𝗪𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗠𝗶𝘀𝗸𝗶𝗻?
#AyoPeduliSesama
#PeduliPasamanBarat
#BersamaKitaBisa
#BerbagiTakPernahRugi
#MRPB_Peduli
#KolaborAksiKemanusiaanPasamanBarat
Tagar tersebut merupakan pemicu dan semangat bagi segenap relawan tangguh peduli kemanusiaan kabupaten Pasaman Barat.
Senja itu tepatnya Kamis (24/11/2022) di Latifha Cafe Simpang Empat Pasbar, saat penulis berbincang-bincang sambil menikmati kopi dengan Ketua MRPB P, Mon Efery dan Ketua KolaborAksi Kemanusiaan Pasaman Barat (KKPB), Decky H Sahputra, mengungkap suka duka perjuangan para relawan tangguh Pasbar.
Gebrakan dan sepak terjang ke dua tokoh kemanusiaan Pasbar ini memang sudah tak asing lagi bagi warga Pasbar dan sekitarnya, apa lagi Decky H. Sahputra ini cukup banyak tahu tentang manajemen rumah sakit.
Kebetulan sebagai Relawan Kemanusiaan yang sering mendampingi pasien miskin di berbagai rumah sakit, mereka bersedia ingin berbagi sedikit pengalaman tentang masalah yang sering mereka temukan di lapangan.
Seperti yang disampaikan oleh Decky H. Sahputra dan Mon Efery dua tokoh kemanusiaan Pasbar yang didampingi relawan lainnya saat bincang-bincang ringan tersebut mengungkapkan.
Berdasarkan penuturan mereka, selama ini ada suka dan duka, hingga terjalinnya kerjasama (kolaborasi) maupun pelayanan, yang baik dan tidak baik dalam memperjuangkan warga duafa yang butuh bantuan.
Menurut Mon Efery, ketika ada warga duafa Pasaman Barat yang berobat di RSUP M. Jamil Padang dan tidak mampu membayar, maka pihak RSUP M. Jamil menyarankan kepada keluarga pasien agar menghubungi KolaborAksi Kemanusiaan Pasaman Barat (KKPB).
Padahal menurutnya, Relawan MRPB Peduli/KKPB sudah berulang kali membantu pasien duafa Pasaman Barat keluar dari rumah sakit tersebut tanpa membayar.
Pernah juga warga Kabupaten Madina Sumut, sebut saja Rina Kasih, saat dibantu oleh relawan
MRPB P/KKPB untuk keluar dari RSUP M. Jamil tanpa membayar biaya yang besarnya sampai belasan juta rupiah.
“Ternyata urusannya tidak ribet, yang penting pasien tersebut lengkap data dan surat keterangan miskinnya,” ujar Mon.
Bahkan ada juga, salah satu korban kecelakaan asal Pasaman Barat, yang biaya perawatannya mencapai Rp 151 juta, Rp 20 juta dibantu oleh Asuransi Jasa Raharja.
Berkat kerja sama dan pemahaman yang sama dengan penyelenggara medis RSUD setempat, pasien tetap bisa kita keluarkan dari RSUP M. Jamil tanpa harus melunasi pembayaran yang Rp 131 juta lagi.
“Alhamdulillah, pihak RSUP M. Jamil tidak mencak-mencak atau marah kepada relawan. Tidak pernah terdengar omelan ‘Kami tidak ada urusan dengan LSM anda,” terangnya.
Namun kemudahan di RSUD M. Jamil Padang tersebut, menurutnya tidak ditemui dan tidak terjalin di RSUD Jambak Pasbar, bahkan pelayanan yang diterima oleh pasien maupun MRPB P/KKPB kurang baik.
“Anehnya rasanya, di RSUD Pasaman Barat sendiri, kita para Relawan MRPB Peduli/KKPB hampir selalu bersitegang dan berdebat panjang dulu jika ingin mengeluarkan pasien duafa,” keluh Mon.
Menurutnya, tak jarang keluarga pasien dimarahi oleh pihak RSUD karena membawa-bawa LSM (sebutan RSUD untuk kami para Relawan MRPB Peduli/KKPB).
Dikatakan Mon Efery, pemaparan ini bukan untuk menyudutkan atau menyalahkan para perawat dan bahagian administrasi RSUD Pasaman Barat.
Sebab menurutnya, para relawan paham, bahwa mereka itu para aparatur medis tersebut hanya menjalankan tugas.
Namun Mon dan Decky berharap, hendaknya hal Inilah yang sebenarnya, kendala yang seharusnya menjadi pemikiran top management RSUD, Dinas Kesehatan dan Pemkab. Pasaman Barat.
“Kenapa di RSUP M. Jamil pasien duafa asal Pasaman Barat justru, disuruh menghubungi Relawan KolaborAksi Kemanusiaan Pasaman Barat jika tidak mampu membayar ?”ujar Mon.
Mon mengatakan, padahal MRPB Peduli/KKPB tidak pernah membayarkan biaya perawatan pasien duafa ke rumah sakit, karena kas MRPB P/KKPB tidaklah banyak seperti zakat ASN yang dikelola oleh Baznas Pasaman Barat.
MRPB P/KKPB hanya mendampingi saja, karena warga duafa itu tidak begitu mengerti dan tidak berani berurusan dengan pihak administrasi RS. “Mereka takut dimarahi atau diomeli karena tidak mampu membayar.” terangnya.
“Nah, kalau di RSUP M. Jamil Padang, mereka enteng saja melepas pasien pulang kalau sudah didampingi Relawan MRPB P/KKPB, karena dengan bahan-bahan yang diberikan pasien duafa sudah ada, dan ini sudah cukup bukti bagi mereka pihak RSUP M. Jamil Padang untuk mengajukan permintaan kompensasi biaya perawatan kepada Kemensos RI.”papar Mon tegas.
Sebab menurut Mon, berapapun biaya perawatan pasien miskin yang dibebaskan dan tidak masuk kas rumah sakit, bisa mereka dapatkan penggantiannya kembali.
Tapi tentunya itu perlu usaha dan perjuangan, sehingga pihak RS mendapat kepercayaan dari Kemensos, dan dana kompensasi perawatan warga miskin itu bisa diperoleh.
Mon Efery menambahkan, ke depan para Relawan MRPB P/KKPB maupun para relawan kemanusiaan tangguh lainnya, selalu berharap agar manajemen RSUD Pasaman Barat, juga bisa memikirkan dan mencari terobosan untuk warga miskin agar tetap bisa mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya, dan bisa pulang tanpa harus bersitegang terlebih dahulu dengan “LSM” yang mendampingi pasien.
Seharusnya RSUD Pasaman Barat sudah punya SOP tentang “keringanan biaya berobat bagi warga miskin”.
LSM Kemanusiaan maupun MRPB P/KKPB tidak ingin berdebat, apalagi bertengkar di RSUD Pasbar setiap mendampingi warga miskin.
“Tapi jika harus berdebat dulu untuk mengeluarkan pasien miskin, kami para relawan juga siap,” Ujar Mon Efery.
Seperti yang dituturkan oleh Mon Efery kepada Penulis, dikatakannya pihaknya sudah berulang kali menerima ucapan dari pihak RSUD Jambak Pasbar yang mengatakan bahwa RS bisa tekor jika pasien tidak membayar.
“rasanya hal ini sulit dipercaya, karena pasien miskin yang kami dampingi tidaklah banyak,” ucap Mon.
Selanjutnya Ketua MRPB P ini menjelaskan, pihak manajemen takut jika pasien yang tidak mampu membayar itu akan jadi temuan BPK.
“Nah, ini justru lebih tidak masuk akal,mungkinkah BPK akan menyalahkan manajemen RSUD jika memberikan keringanan terhadap warga miskin ? Bukankah memberikan layanan kesehatan terhadap warga miskin itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab sosial rumah sakit, sesuai Bab II Pasal 2 Permenkes RI No. 69 Tahun 2014 dan Permenkes RI No. 4 Tahun 2019?” terang Mon,”.
Disampaikannya, ketentuan hukum yang paling mendasar dapat kita lihat didalam pasal 28 H ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Menurutnya, hal tersebut lebih diperjelas lagi mengenai pelayanan kesehatan, ini menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan di dalam pasal 32 yang menyatakan bahwa :
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Kehadiran Undang-Undang ini diharapkan agar rumah sakit tidak ada lagi alasan untuk menolak masyarakat kurang mampu untuk datang berobat. Karena hal mengenai nyawa pasien diharapkan rumah sakit memberi pelayanan medis demi nyawa seseorang apalagi mereka yang tidak membawa yang sepeserpun. Menolong sesama tidak akan membuat kita menjadi miskin, bahkan akan mendatangkan rezeki bagi kita.
BPJS Gratis untuk Warga Miskin
Masalah lainnya yang sering ditemukan Relawan di lapangan adalah;
1. Warga/Pasien tidak mampu banyak yang belum punya BPJS.
Sudah sering pihak MRPB P/KKPB mengurus dan membayarkan BPJS warga duafa yang butuh berobat, jika kondisi warga itu belum masuk kategori emergency.
2. Iuran BPJS menunggak sampai bertahun-tahun. Bagaimana warga duafa mau membayar iuran bulanan BPJS jika untuk biaya hidup sehari-hari saja sering kekurangan?
Pengalaman MRPB P/KKPB, sudah beberapa kali menggalang donasi untuk melunasi tunggakan BPJS, bahkan juga membayarkan denda rawat inapnya agar warga tidak mampu itu bisa mendapatkan layanan rumah sakit.
3. Peserta BPJS gratis, tapi sudah non aktif ketika dibutuhkan.
Banyak juga warga kurang mampu itu yang punya BPJS Kesehatan PBI atau BPJS Gratis, namun ketika mereka mau berobat di rumah sakit, ternyata BPJS mereka sudah mati atau non aktif dengan alasan “tidak pernah dimanfaatkan dalam 6 bulan terakhir”.
“Apakah pemegang BPJS Gratis itu harus sakit dan berobat ke rumah sakit minimal sekali 6 bulan ? Adakah hal ini sudah di sosialisasikan, bahwa jika tidak digunakan dalam 6 bulan, BPJS Gratis mereka akan di nonaktifkan?” tanya Mon.
Menurut prosedur yang kami baca, untuk mengaktifkan kembali BPJS Kesehatan PBI itu tidaklah sulit.
Cukup Dinas Sosial Pasaman Barat melayangkan surat kepada Kantor BPJS, minta supaya BPJS Gratis warga yang sudah nonaktif itu diaktifkan kembali.
Tapi kenapa di lapangan prosedurnya jadi ribet berbelit-belit? Apa memang sudah menjadi budaya pula ungkapan
“Kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah?”. ujar Mon kesal.
Itulah sekelumit temuan suka duka para Relawan di lapangan seperti yang disampaikan Mon Efery kepada media ini,
“Semoga ada pihak berkompeten mau memikirkan dan mencarikan solusinya, paling tidak, sosialisasi dan penerapan maksud amanat dari Pasal 34 UUD 1945 dapat dijalankan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah memberi rehabilitasi sosial jaminan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan sosial sebagai wujud pelaksanaan kewajiban negara dalam rangka menjamin terpenuhinya hak kebutuhan dasar warga negara yang miskin serta tidak mampu,” Harap Mon mengakhiri bincang senja itu.
(Zoelnasti)