REDAKSISATU.ID – Komisi III DPR RI diduga sudah mulai gerah hingga diduga mencoba melakukan intervensi terhadap Menko Polhukam sekaligus Ketua Tim Penggerak Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait pengungkapan ke publik transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dirjen Pajak dan Bea Cukai senilai Rp300 Triliun. Transaksi yang mencurigakan itu pun kini mencapai Rp349 Triliun.
Dugaan intervensi dari Komisi III DPR RI itu sangat menonjol dari sikap dan pernyataan Fraksi Demokrat Dr. Harman Benediktus Kabur, S.H., M.H atau lebih dikenal dengan nama Benny K. Harman dan dari Fraksi PDIP H. Arteria Dahlan, S.T., S.H., M.H saat mencecar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam Rapat Kerja bersama PPATK membahas transaksi janggal sebesar kurang lebih Rp349 Triliun, di Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa 21 Maret 2023.
Keinginan Oknum dari Komisi III Anggota DPR RI yang terkesan ingin merahasiakan dokumen terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan rujukan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut berpotensi bertentangan dengan Negara Demokrasi, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nopotisme, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Bukan hanya itu, keinginan Oknum dari Komisi III Anggota DPR RI yang terkesan ingin merahasiakan dokumen terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juga berpotensi bertentangan dengan Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 sebagai mana dalam pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 diantaranya Pasal 28 F.
Anehnya, adanya kesan yang ingin merahasiakan dokumen terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dirujuk dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang karena disampaikan ke Publik, justru dalam Rapat soal transaksi janggal Rp349 Triliun dilakukan secara terbuka ke Publik.
Dalam Rapat Kerja bersama PPATK itu, Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mencecar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana soal bocornya transaksi janggal Rp349 Triliun ke Publik. Menurutnya, dokumen terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) harusnya dirahasiakan.
Arteria merujuk UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Disebutkan bahwa pegawai PPATK, penyidik, bahkan termasuk Menteri wajib merahasiakan dokumen tersebut.
“Saya bacakan Pasal 11 Pak, Pejabat atau Pegawai PPATK, Penyidik atau Penuntut Umum, hakim dan setiap orang. Setiap orang itu termasuk juga Menteri, termasuk juga Menko, Pak, ya. Yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut undang-undang ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut,” tandas Arteria Dahlan dalam Raker bersama PPATK tersebut.
Bahkan, Anggota DPR RI Arteria menyinggung ancaman Pidana 4 (empat) tahun bagi yang melanggar.
“Sanksinya Pak, sanksinya setiap orang itu dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. ini undang-undangnya sama pak. Ini serius, gitu loh. Nanti kita juga ada sesi berikutnya bisa klarifikasi,” ujarnya.
Selanjutnya, dugaan intervensi juga dari pernyataan yang disampaikan Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Benny K. Harman. Benny bahkan menuding Menko Polhukam sekaligus Ketua Tim Penggerak Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), niatan atau keinginan politik yang tidak sehat atas pengungkapan transaksi janggal Rp349 Triliun ke Publik.
“Saudara Menko Polhukam dan Anda juga sebetulnya ada niatan politik yang tidak sehat, ya? Mau memojokkan Kemenkeu atau sejumlah Tokoh di Kemenkeu, itu yang Saudara lakukan,” tegas Benny sambil menunjuk ke arah pihak PPATK yang hadir dalam Rapat tersebut.
Coba tunjukkan kepada Saya, lanjut Benny menekankan, Pasal mana?…
Dalam kesempatan yang sama, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana pun lantas menjawab pertanyaan Benny itu.
“Yang menjadi referensi kami adalah Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” tegas Ivan.
Menurut Ivan, sepanjang informasi tersebut tidak menyebutkan nama, maka tidak masalah jika disampaikan ke Publik. Ia merujuk Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Sepanjang tidak menyebutkan nama, menurut saya boleh. Yang menjadi referensi kami adalah Peraturan Presiden Nomor 6 tahun 2012, turunan Pasal 92 Ayat 2,” terangnya.
Namun menurut Oknum Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat Benny K. Harman, bahwa pada Peraturan Presiden Nomor 6 tahun 2012 tersebut tidak ada satu Pasal pun atau penjelasannya yang dengan tegas menyebutkan Kepala PPATK, Kepala Komite apalagi Menko Polhukam boleh membuka data-data seperti ini untuk membuka ke Publik sesuka-sukanya, selain motivasi Politik.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menerangkan bahwa Rapat ini akan mempertemukan tiga pihak yang berkaitan, guna membuka informasi yang seterang-terangnya kepada Publik tentang isu transaksi keuangan mencurigakan Rp349 Triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Rapat Komisi III akan berlanjut dengan memanggil Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, dan PPATK. Semua pihak akan diklarifikasi terkait isu transaksi keuangan mencurigakan Rp349 triliun di lingkungan Kemenkeu.
Sahroni mengungkapkan, pemanggilan dilakukan setelah pihaknya mendapat klarifikasi isu tersebut dari Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Undang tersebut dalam kapasitasnya sebagai pengurus Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pemberantasan Pencucian Uang (TPPU).
“Jadi saran teman-teman Komisi III mengundang Bu Menkeu rapat pada tanggal 29 Maret. Jadi tiga tuh, ada Pak Ivan, Bu Menkeu, ada Pak Menko yang tiga-tiganya adalah berstatus Komite Nasional TPPU,” pungkasnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, kasus pencucian uang bukan hanya terjadi di Kemenkeu. Bahkan terjadi pada beberapa pejabat dari lembaga lainnya, bahkan hingga tingkat daerah. Modus pencucian uang tersebut, diduga kuat dengan cara pembelian aset berupa tanah, bangunan, sarang burung walet, kolam penangkaran Ikan Arwana, saham di Perbankan, logam mulia, kendaraan dan lainnya.
Editor: Adrianus Susanto318