Potensi perbedaan hari pada 1 Syawal 1444 hijriyah adalah hal yang wajar, karena perbedaan metode penentuan, antara hisab dan rukyatul hilal di antara ormas Islam di Indonesia.
Atas hal tersebut, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta pemerintah berada pada posisi penjamin fasilitas dan kepastian ibadah dapat berlangsung. Karena hal itu merupakan amanat Konstitusi.
“Negara ini adalah negara yang berdasar ketuhanan, dimana dalam Pasal 29 Ayat 2 Konstitusi sangat jelas berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” ungkapnya Kamis (20/4/2023).
Masih menurut LaNyalla, posisi negara adalah penjamin umat melaksanakan ibadah menurut agamanya, termasuk dalam pilihan metode penentuan 1 Syawal. Sehingga seharusnya negara atau dalam hal ini pemerintah tidak dalam posisi otoritas penentu tunggal. Karena pemerintah juga bukan lembaga pemberi fatwa agama.
“Selama ini seolah pemerintah mengambil posisi penentu 1 Syawal melalui sidang isbat. Jangan sampai hal ini menjadikan pemerintah melanggar Konstitusi Pasal 29 Ayat 2 tersebut, apalagi sampai ada pembatasan dan sebagainya terhadap akses fasilitas tertentu,” ujar senator asal dapil Jawa Timur itu.
LaNyalla juga menghargai aspirasi masyarakat yang meminta sidang isbat pemerintah ditiadakan, karena penentuan hari 1 Syawal sudah ditempuh melalui dua metode yang disepakati secara fiqih oleh ormas Islam di Indonesia, yakni metode rukyatul hilal dan hisab.
“Aspirasi tersebut juga harus didengar oleh pemerintah, agar tidak terjadi duplikasi peran, dan posisi pemerintah juga tidak terkesan sebagai otoritas penentu tunggal jatuhnya 1 Syawal,” pungkas LaNyalla. (*)
Editor: Khairul Ramadan